Selamat Datang

"Dunia adalah ladang untuk kampung akhirat"

Himbauan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tulisan dalam blog ini boleh dicopy-kan dan disebarkan, karena tulisan ini sebenarnya juga diambil dari banyak sumber yang terdapat di dunia Maya dan beberapa tulisan penulis sendiri. selama niatnya untuk mengajak kepada yang ma'ruf dan menolak segala kejahatan maka selama itu pula pahala bagi orang-orang yang menyebarkannya.

"Fastabiqul Khairat"

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
(al-Imran 3:104)

Jumat, 24 Juni 2011

ETIKA ISLAM

Masalah kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia, "baik ideal maupun realita".
Secara ideal bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk pertama kalinya dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik dan buruk (QS. Assyams 7-8).
Secara realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, dimana individu merupakan bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula muncul dalam kesadarannya ialah pertanyaan "What must be?"(Apa yang seharusnya), yang lalu disusul dengan "What must I do?"(Apa yang dilakukan) pelaksanaan "What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must be?". Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan apriori. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif".
Di dalam hidupnya manusia dinilai! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai! Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut.
Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat mambedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik buruk tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS. 91: 7-8)
Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, "atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan".
Imam Al Ghazali menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "awwali". Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam batin dari ilmu ma'rifat1).
Di sini, Al Ghazali mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian Ilahyah. Sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea" hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara menenangkan pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya "idea" bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan "ide".
Kesadaran tentang keberlangsungan ide yang sejak awal ruh ditiupkan, menyebabkan Allah dalam firman-firmanNya menghendaki manusia masuk pada posisi asasinya yang disebut "idul fitri", yaitu kembali kepada "kesejatian diri". Sebab kesejatian inilah yang bisa dipertanggung-jawabkan kebenaran sikapnya karena perilaku yang keluar bersandar pada kejernihan fitrah. Maka sesungguhnya fitrah itu sejalan dengan kehendak Allah (fitrah Allah), yang disebut dalam Al Qur'an:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS. Arrum: 30).
Pada dasarnya fitrah manusia itu suci, akan tetapi proses penerimaan ide (ilham) tersebut, terkadang menjadi tidak murni disebabkan kekotoran jiwa yang diliputi nafsu syahwat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu Dan merugilah orang yang mengotorinya." (QS Asysyams 7-8).
Betapa bahayanya ilham-ilham tersebut bila diterima oleh jiwa yang kotor, sebab pengetahuan-pengetahuan itu akan digunakan untuk bagaimana mencuri, korupsi, menipu dan merusak alam semesta. Tetapi alangkah indahnya jika ilham-ilham tersebut diterima oleh jiwa yang tenang dan bersih yang akan menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya maupun alam semesta. Maka dari sini dapat dimengerti, walau seseorang sudah memiliki pengertian "baik buruk secara apriori", bukan berarti ia telah tahu secara mutlak, namun pengertiannya masih bersifat relatif dan hal itu akan lebih jelas jika disinari oleh wahyu ketuhanan. Sebab ia tidak akan mampu menelusuri secara intelektual tanpa adanya "daya spiritual" dalam menerima ide yang sesuai dengan Fitrah Allah. Sebaliknya kalau dibiarkan jiwa kita diam, terbelenggu oleh keinginan syahwat, maka apa yang diperoleh oleh jiwa berupa ide ilmu pengetahuan akan digunakan sesuai dengan kepentingan syahwatnya.
Kembali kepada masalah "nilai". Seseorang pasti akan dinilai atau pasti akan melakukan sesuatu karena nilai, dan jika "nilai" masih bersifat relatif, maka nilai tersebut akan tergantung kepada dasar yang ia pakai. Bisa jadi, mencuri itu mendapat nilai kebajikan apabila perilaku tersebut didasari oleh hukum-hukum tentang permalingan, juga sekularisme, hedonisme, komunisme dan ateisme, dasar-dasar inilah yang akan menilai perilaku itu baik atau buruk.
Begitupun tata nilai ketuhanan (Islam), setiap "perilaku" Islam sangat menekankan orientasi niat yang kuat, menyandarkan peribadatannya didasari konsep "Lillahi ta'ala".
Pendasaran kepada setiap "laku" manusia, mengandung tuntutan kesadaran, bukan paksaan!! Perilaku seseorang tersebut baru bisa dikatakan mempunyai nilai. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi:
Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya (Hadist riwayat Bukhari Muslim).
Dalam hadist tersebut jelas, setiap perilaku mempunyai dasar (niat), sehingga perbuatannya dikategorikan baik atau buruk dimana ia menggantungkan niatnya.
Suatu riwayat, ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah "niat".
"Maka barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya". (Al Hadits)
Di sini sangat penting kesadaran akan "niat" untuk memperjelas perbedaan mana yang baik menurut nafsu, dan baik menurut Allah. Perilaku yang lalai atau tidak karena Allah seperti dalam shalat, maka nilai kelurusan shalat yang terhalang oleh pikiran yang tidak khusyu' akan berakibat pada rusaknya nilai ibadah shalat. Seperti yang termaktub alam Al Qur'an:
"Maka celakalah bagi yang melakukan shalat karena"niat"-nya (lalai) terhambat oleh ingin dilihat orang lain." 1)
Perbuatan macam ini tidak bisa dikatakan sebagai "Dien". Sebab agama mempunyai satu dasar penilaian yang sangat sempurna yakni; Islam, Iman, dan Ihsan.
Etika pada umumnya menentukan "sadar bebas" sebagai obyeknya, dan ternyata hal ini hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan.
Setia dan bertingkah baik an-sich tanpa memperhitungkan syarat lain, memang dapat digolongkan ke dalam "kebajikan". Namun belum tentu dikategorikan dalam kebajikan jika ditinjau lebih jauh pada kondisi-kondisi lain, yakni pada apa perbuatan itu bersangkut paut atau apa yang melatari perbuatan tersebut. Misalnya: Si Abdullah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Ketika terjadi tindakan tersebut terdapat:
  1. Subjek yang berbuat, yaitu "Abdullah".
  2. Objek yang diperbuat, yaitu Abdullah melakukan "sedekah".
  3. Objek yang terkena perbuatan, yaitu sedekah diberikan kepada fakir miskin.
  4. Objek yang dipergunakan, yaitu niat karena apa (bisa karena ingin dilihat orang, karena Allah dll).
Pada faktor-faktor inilah disamping "niat" batin, Islam meletakkan nilai syarat yang ikut mengambil bagian dalam menilai suatu perbuatan sebagai tindakan etis. Tegas sekali Islam mewajibkan "niat karena Allah" sebagai tanggung jawab penghambaan kepada Kholiqnya.
Tanggung jawab Islam dalam syariat (etika ketuhanan) selalu mengandung kedalaman dimensi yang tidak saja tindakan fisik sebagai objek nilai, juga di dalamnya nilai psikologis merupakan tindakan etis yang secara naluriah, mengembalikan kepada Fitrah Allah. Dalam tahapan ini manusia sampai kepada tahapan tertinggi yang dalam tindakannya sesuai dengan kehendak Allah (Fitrah Allah), diharapkan setiap perilaku (ibadah) sampai kepada syarat; islam, iman dan ihsan. Karena akan dikatakan (dinilai) sebagai agama apabila meliputi ketiga kriteria tersebut.
Dalam Hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan:
Artinya: sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi dalam bentuk seorang Arab Badui, lalu ia bertanya kepadanya tentang islam, maka Nabi menjawab, "Islam itu, ialah hendaknya engkau bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, engkau keluarkan zakat, engkau puasa bulan Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergu ke sana. Lalu Jibril bertanya apakah Iman itu? Nabi menjawab, "Yaitu hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para Utusan-Nya, bangkit dari kubur sesudah mati, dan hendaknya engkau beriman kepada takdir tentang takdir baik dan buruknya. Jibril bertanya lagi, apakah ihsan itu? Nabi menjawab, yaitu hendaknya engkau menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat Allah, sekalipun engkau tidak bisa melihat-Nya tetapi Ia bisa melihat engkau. Kemudian dalam akhir Hadist itu dikatakan Rasulullah saw bersabda (kepada para sahabatnya): Dia itu Jibril, Ia datang kepadamu untuk mengajarkan tentang agamamu.
Hal ini seluruhnya termasuk agama, dan agama (dien) itu sendiri berarti khudhu' (tunduk) dan dzull (merendah) seperti perkataan:
"Ku tundukkan dia, maka ia tunduk"
yakni: beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta merendahkan diri kepada-Nya.
Agama meliputi:
  1. Islam: berupa syariat Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji).
  2. Iman : kepercayaan, keyakinan, transendental.
  3. Ihsan: kekuatan psikologis dimana ia mengaitkan nilai perilakunya karena Allah.
Maka setiap peribadatan, apakah itu shalat, zakat, puasa akan terasa sia-sia apabila dilakukan tanpa dibarengi dengan tunduk dan patuh serta merasakan adanya sikap "ihsan" (seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya Ia melihat kalian). Hal inilah yang selalu menjadi permasalahan pokok dan mensosialisasi sebagai kebiasaan buruk yang tidak lagi menjadi masalah, padahal kita bertahun-tahun melakukan peribadatan tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan sia-sia. Ihsan adalah kontak batin dan dialogis, responsif. Ihsan adalah roh setiap peribadatan, dan menentukan diterima tidaknya peribadatan. Sikap ini pula yang menjadikan ihsan itu rukun agama, yang apabila ditinggalkan salah satu rukun agama, maka batallah sebagai agama. Permasalahan rukun agama ini telah dihukumkan dan disyaratkan kepada orang yang sampai baligh. Sebagaimana Hadist Rasulullah:
"Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh" (Abu Dawud, Ibnu Majah dan Annasay, hadist sohih).
Selanjutnya Islam mengajarkan bahwa seorang muslim yang beramal kebajikan, tetapi tujuannya bukan Lillahi ta'ala tidak mungkin diterima amalnya, sebagaimana firman Allah:
"Kami menurunkan kitab ini kepada engkau dengan sebenarnya, sebab itu sembahlah Allah seraya mengihklaskan agama bagi-Nya saja" (Q.s. Az-zumar: 2).
Nash tersebut di atas merupakan kesimpulan dari tujuan etika Islam, yaitu mengembalikan kepada posisi fitrah manusia, yang dengan kesadaran itu, maka ia akan menjadi manusia paripurna dan ia akan berakhlaq sebagaimana akhlaq Allah, dengan kecenderungan berbuat baik tanpa beban dan paksaan.
Untuk itu kecenderungan berbuat baik akan terjadi apabila kita mampu berusaha membersihkan jiwa. Dan kebersihan jiwa akan didapat apabila kita melaksanakan peribadatan sesuai dengan kriteria-kriteria pada penjelasan di atas.

Sumber : Klik di [sini]

"PENGHIJAB HATI "

ASAD batin atau ruh yang selalu kita artikan sebagai hati, mempunyai kemampuan memandang dan mengenal sesuatu, merasakan kesenangan dan kesusahan, mengetahui yang lahir maupun yang batin khususnya mengetahui keberadaan Allah SWT.
Itulah kelebihan manusia daripada makhluk lain yaitu mempunyai hati yang dapat mengenal Allah dengan sebenar-benarnya sehingga menjadi hamba Allah yang benar-benar takut pada Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah : Terjemahannya : Apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka.(Al Anfaal : 2)

Hati yang terang-benderang seperti itu dimiliki oleh para ‘ariffin, muqarrobin dan solehin. Hati mereka dapat melihat dan betul-betul mengenal sifat-sifat keagungan Allah. Karena itu mereka benar-benar dapat menghambakan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya ada juga manusia yang hatinya gelap (buta) tidak dapat melihat dan mengenal Allah. Hal itu juga difirmankan oleh Allah SWT : Terjemahannya : Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama seperti orang yang buta (mengetahui)? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.(Ar Ra’d : 19)

Firman Allah lagi :Terjemahannya : Mereka itulah orang-orang yang hatinya, pendengarannya dan penglihatannya telah dikunci oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai.(An Nahl : 108)
Dari Umar Al Khattab, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :"Cap penutup hati tergantung di kaki arasy. Bila seseorang melanggar larangan Allah (menghalalkan yang diharamkan oleh Allah) maka Allah akan menutup hati mereka dengan cap penutup hati tersebut."


Bila hati sudah buta, atau sudah dikunci mati oleh Allah SWT, maka hati tidak dapat lagi mengenal Allah. Begitulah hati orang-orang kafir dan munafik yang menyebabkan mereka menolak kebenaran.

Namun bukan hanya hati orang kafir dan munafik saja yang sudah buta, kita sebagai umat Islam pun masih banyak yang hatinya buta. Buktinya adalah kita masih sering membuat dosa (kecil atau besar). Orang yang masih membuat dosa adalah orang yang tidak takut pada Allah. Orang yang tidak takut pada Allah adalah orang yang tidak kenal siapa Allah. Jika tidak kenal Allah menandakan bahwa hati telah buta.

Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Sesungguhnya seorang mukmin apabila ia melakukan dosa maka terjadilah satu bintik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat dan berusaha membuangnya (bintik hitam tersebut) maka akan selamatlah hatinya. Kalau dosanya bertambah maka hatinya akan semakin terkunci.
Sabda baginda lagi yang maksudnya :Orang yang membuat satu dosa hilanglah sebagian akalnya untuk tidak kembali lagi selama-lamanya.


Kalau mata kita buta, maka kita tidak dapat melihat, tidak dapat mengenal bahkan tidak dapat berjalan lagi. Begitulah kalau hati kita buta, kita tidak dapat mengenal Allah dan tidak dapat menempuh jalan syariat lagi. Kita tidak takut, tidak redha, tidak tawakal, tidak yakin, tidak berharap kepada Allah, tidak cinta, tidak yakin dengan janji-Nya yaitu Syurga, Neraka, Hari Hisab, siksa kubur, dan lain-lain lagi. Bila perasaan tersebut sudah tidak ada di hati kita maka datanglah penyakit hati.
Firman Allah :Terjemahannya : Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al Baqarah : 10)


Mereka akan tersiksa di dunia dan di Akhirat. Di dunia mereka akan merasa kecewa, putus asa, berkeluh kesah, dan tidak tenang. Di akhirat tentulah lebih tersiksa lagi.

Penyakit hati yang Allah maksudkan itu diantaranya ialah iri dengki, dendam, buruk sangka, serakah, cinta dunia, bakhil, pemarah, penakut, riya', ujub dan sombong.

Langkah pertama yang wajib ditempuh untuk mengobati penyakit hati kita ialah dengan mengobati hati yang buta itu. Bila hati sudah tidak buta maka penyakit-penyakit hati lainnya akan hilang dengan sendirinya.

Kalau mata kita sakit atau buta, maka kita akan pergi ke dokter mata. Mungkin mata kita akan dibersihkan, dibedah dan sebagainya. Begitupun kalau hati kita yang buta, maka kita mesti memberi pengobatan yang sesuai.

Untuk itu mari kita lihat dulu apakah yang menyebabkan hati terhijab? Di antaranya adalah:

a. Memakan makanan haram dan makanan syubhat, baik sadar atau tidak.

Bersabda Rasulullah SAW yang maksudnya:

"Hati itu dibina dengan apa yang dimakan."

Hati kita adalah segumpal darah yang mengandung sel-sel darah merah dan zat-zat besi. Sel dan zat-zat itu berasal dari makanan yang kita makan. Kalau makanan kita bersih (halal mengikut syariat Islam) maka sel dan zat itu juga bersih sehingga hati kita juga akan bersih. Sebaliknya kalau makanan yang kita makan itu kotor (haram dan syubhat) baik benda itu haram atau uang yang digunakan untuk membelinya haram, maka sel dan zat-zat besi, atau zat-zat yang membina hati kita itu kotor, busuk dan gelap.

Hati seperti wadah yang terbuka. Hati yang kotor tidak akan menerima taufik dari Allah sebab Allah tidak akan memberi taufik dan hidayah kepada hati yang kotor. Sama halnya kita tidak akan memasukkan makanan ke dalam piring yang kotor. Apalagi taufik dan hidayah dari Allah itu sangat tinggi harganya.
Bila hati tidak bisa melihat kebenaran maka tidak akan terasa kebesaran, kehebatan, kasih sayang dan didikan dari Allah, tidak terasa anugerah, penjagaan, pengawasan dan pembelaan Allah. Kalau hati tidak mendapat hidayah dan taufik lagi maka kita akan menjadi orang yang sesat dan selalu terlibat melakukan maksiat dan mungkar.


Bersabda Rasulullah SAW :
Terjemahannya : Dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging. Bila baik daging itu baiklah seluruh anggota dan seluruh jasad. Bila jahat dan busuk daging itu jahatlah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.(Riwayat Al Bukhari & Muslim)


Firman Allah : Terjemahannya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman dengan-Nya. (Al Maidah : 88)

Perintah memakan makanan yang halal adalah wajib. Kalau kita makan makanan yang haram dalam keadaan sadar bahwa benda yang kita makan itu haram maka kita akan berdosa dan hati kita akan gelap. Tetapi kalau makanan yang haram dan syubhat itu kita makan, tanpa diketahui bahwa benda itu haram dan syubhat maka kita tidak berdosa tetapi hati kita yang dibina dari makanan itu tetap akan gelap.

Atas dasar itulah Sayidina Abu Bakar As Siddiq mengorek kembali makanan yang telah ditelannya hingga muntah-muntah, setelah dia mengetahui bahwa makanan itu sumbernya adalah syubhat. Amirul Mukminin itu merasa cukup takut bila makanan itu akan membutakan hatinya. Setelah mengorek makanan itu, dengan rasa bimbang bila saja ada sisa-sisa makanan tersebut yang masih ada dalam perutnya, maka beliau pun berdoa, "Ya Allah, jangan Engkau bertindak kepadaku akan apa yang telah jadi darah dagingku"

Begitulah Sayidina Abu Bakar menjaga hatinya. Sebab itu hatinya menjadi terang-benderang. Jadi, tidak mengherankan kalau keyakinan beliau cukup kuat dengan Allah.
Rasulullah SAW pun memuji beliau dengan sabda baginda : Terjemahannya : Kalau dibandingkan iman Abu Bakar dengan iman seluruh manusia kecuali Nabi dan Rasul niscaya imannya masih lebih baik.
Hal yang serupa terjadi pada Imam Nawawi. Semasa hidupnya ia tidak makan buah-buahan di Damsyik karena merasa buah-buahan itu syubhat. Beliau sangat menjaga hatinya.


Hati yang terang-benderang akan mempunyai basirah (pandangan batin) yang tajam yang dapat menembus alam gaib dan alam kerohanian. Bila alam gaib yang hebat itu bisa terlihat oleh kita maka alam yang lahir itu sudah tidak berarti apa-apa.

Perbandingannya seperti ini : Misalnya suatu hari kita diundang menjadi tetamu raja. Maka masuklah kita ke istana. Di sana kita akan diberi dengan pelayanan yang istimewa, dengan pakaian dan makanan, peralatan dan perhiasan yang tidak pernah kita jumpai. Kita merasa sangat gembira dan kita merasa tidak mau kembali lagi ke rumah kita, sebab rumah kita sudah tidak berharga apa-apa lagi dibandingkan dengan kehidupan yang indah di istana.

Begitulah keadaan mereka yang bisa melihat kehebatan alam gaib. Alam yang lahir menjadi tidak berharga lagi. Karena itulah Sayidina Abu Bakar r.a bisa mengorbankan semua harta bendanya kepada jihad fisabilillah hingga tidak ada apa-apa lagi yang ditinggalkan untuk anak isterinya. Beliau mau menebus kehidupan di alam gaib yang maha hebat dengan menggadaikan seluruh harta benda dunia yang murah itu. Begitu juga sahabat-sahabat yang lain dan mujahid-mujahid Islam, mereka telah mengorbankan dunia yang sedikit itu untuk membeli kehidupan akhirat yang agung di alam baqa’ nanti.

Firman Allah : Terjemahannya : Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang mukmin, diri dan harta mereka dengan (harga) Syurga untuk mereka. (At Taubah : 111)

Mari kita mengobati hati kita dengan menghindar dari makanan yang haram. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengelak dari makanan yang haram diantaranya ialah :

    1. Jangan memakan makanan yang zatnya jelas haram seperti arak atau makanan yang dicampur arak atau daging yang tidak disembelih.
    2. Jangan memakan makanan yang bernajis baik sifatnya najis (karena dibuat dari bahan yang tidak halal) atau karena cara mencucinya tidak betul atau tidak menurut syariat, sehingga tetap najis (tetap tidak halal).
    3. Jangan memakan daging yang disembelih secara tidak halal dan membersihkannya tidak menurut syariat.
    4. Jangan memakan makanan yang dibeli dengan uang yang haram (sekalipun makanan itu halal). Uang yang haram contohnya uang suap, uang riba, uang curian dan tipuan.
    5. Jangan kita memakan makanan dari usaha yang haram seperti riba, pelacuran, judi, dan lain-lain.

Makanan syubhat ialah makanan yang kita ragukan halal atau haram dan uang syubhat ialah uang yang sumbernya kita ragukan halal atau haram. Makanan dan uang yang syubhat itu wajib dielakkan supaya kita berpeluang memperoleh kejernihan batin untuk mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya.
Sekarang ini banyak makanan di restoran yang menyalahgunakan perkataan 'HALAL' dan 'ISLAM' sebagai tanda perniagaan mereka. Kita harus berhati-hati juga sebab musuh Islam telah menyalahgunakan kata-kata 'HALAL' dan 'ISLAM' itu untuk keuntungan perut dan kantong mereka saja. Mereka sama sekali tidak takut pada Allah dan tidak ingin untuk mencari keredhaan-Nya.


Makan makanan yang halal tetapi berlebihan juga menjadi satu faktor penentu kepada corak hati kita.
Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Wadah yang paling dibenci oleh Allah adalah perut yang penuh dengan makanan yang halal.


Allah benci kepada perut yang penuh dengan makanan sebab perut yang penuh itu akan melemahkan kegiatan hati sehingga tidak kuat untuk memandang pada alam gaib.

Bila hati lemah maka manusia menjadi lalai dan malas. Malas beribadah dan mudah terjebak dalam maksiat. Atas dasar itulah para salafussoleh mengurangi porsi makan mereka.

Rasulullah SAW selalu melatih perutnya untuk berada dalam keadaan lapar. Beliau pernah meletakkan batu di perut dan kemudian mengikat perutnya dengan kain agar tidak terasa kekosongan perut yang memang kosong. Beliau jarang berada dalam keadaan kenyang. Jika satu hari kenyang, maka tiga hari lapar. Beliau selalu berpuasa satu hari, kemudian satu hari lagi berbuka.

Begitu pula cara hidup yang ditempuh oleh Nabi Sulaiman a.s yang dikenal sebagai orang kaya-raya. Beliau selalu berpuasa dan hanya memakan roti kering dan air putih. Nabi Yusuf a.s pun ketika menjadi menteri di Mesir melakukan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Bila ditanya mengapa Beliau berbuat begitu, jawabnya, "Di hari aku lapar, aku dapat merasa bahwa aku adalah hamba yang memerlukan pertolongan Allah. Di hari aku kenyang maka aku dapat bersyukur pada Allah SWT yang memberikan rezeki."

Begitulah cara hidup Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, orang-orang muqarrobin dan orang-orang soleh. Mereka berjuang melawan nafsu untuk membersihkan hati supaya merasa diri sebagai hamba Allah yang lemah dan hina dina. Cara hidup mereka itulah yang wajib kita contoh. Kita mesti senantiasa berperang dengan nafsu yang selalu mengajak kita lalai dari Allah.

Mari kita obati hati kita dengan cara mengurangi makan. Langkah-langkah praktis yang mesti diambil untuk mengurangi makan di antaranya ialah :

  1. Hidangan makanan kita janganlah lebih dari dua jenis lauk. Itulah amalan Sayidina Umar. Beliau tidak makan dengan lebih dari dua jenis lauk. Sebab bila jenis lauk sudah bermacam-macam nafsu kita bertambah besar untuk merasakan semua jenis lauk.
  2. Makanan itu sebaiknya sederhana, jangan terlalu enak. Sebab kalau terlalu enak, kita tidak mampu mengawal nafsu untuk makan berlebihan.
  3. Jangan menyimpan berbagai kelebihan makanan dalam rumah, sebab bila makanan tersedia maka kita senantiasa berfikir untuk makan. Sebaliknya kalau tidak ada simpanan makanan, nafsu tidak akan mengajak kita berfikir untuk makan.
  4. Coba memperbanyak puasa sunat seperti di hari Senin dan Kamis atau paling kurang tiga hari dalam sebulan.

Harus kita fahami bahwa langkah-langkah di atas adalah untuk membersihkan hati dan membuat hati kita merasa menjadi hamba Allah yang lemah dalam segala masalah kita.

b. Pandangan dan Pendengaran yang Haram

Kita telah sepakat bahwa : "Dari mata turun ke hati." Artinya hasil dari pandangan (termasuk pendengaran) bukan sekedar terasa di mata dan telinga tetapi akan bersambung dan berkesan di hati. Kalau apa yang kita pandang dan dengar itu baik, maka hati kita akan menerima kebaikannya. Sebaliknya kalau yang kita pandang dan dengar itu maksiat dan mungkar (haram), maka hati kita akan berisi kejahatan dan kemungkaran itu.

Hati yang senantiasa menerima pandangan dan pendengaran yang mungkar akan menjadi hati yang gelap dan pekat, buta dari melihat keagungan Allah. Hati itu tidak lagi merasa takut pada Allah, bahkan cinta dan rindu pada Allah SWT akan hilang.

Saya rasa kita semua tentunya memiliki pengalaman pribadi terhadap hal itu. Kalau setiap hari hati kita terisi dengan zikrullah, bacaan Al Quran, puasa, shalat sunat, membaca kitab dan mendengar pengajian agama, hati kita akan lembut, terasa indah dalam beribadah kepada Allah, rindu kepada kebaikan, benci dan takut kepada dosa.

Tetapi kalau setiap hari hati kita isi dengan program TV, berkata-kata kosong, mengumpat dan mencaci, membaca majalah hiburan yang penuh maksiat, mendengar lagu-lagu pop, maka kita akan menjadi malas beribadah, memandang kecil tentang cara hidup sunnah, tidak ada rasa takut dengan Allah, tidak membesarkan Allah apalagi untuk rindu pada-Nya, tidak suka pada pemuka agama dan lupa pada Akhirat. Hati kita menjadi cinta kepada dunia dengan segala hiburannya. Hati selalu ingin lepas, bebas tanpa disekat oleh hukum Islam, malas berjuang dan berangan-angan, serta ingin hidup lebih lama lagi.
Itulah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tindakan lahir, pendengaran dan penglihatan yang haram akan membuat hati kita buta kepada kebenaran.


Allah berfirman : Terjemahannya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercantum (benih) yang akan Kami mengujinya (dengan perintah dan larangan) karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. (Al Insaan : 2)

Tujuan Allah memberi kita mata dan telinga adalah untuk mencari dan mengenal pencipta kita yaitu Allah SWT. Selain itu supaya kita sadar untuk berbakti dan menurut perintah-Nya. Firman-Nya : Terjemahannya : Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembah Aku. (Adz Dzaariyat : 56)

Kita mesti merasa bahwa diri kita adalah sebagai hamba dalam melaksanakan perintah suruhan dan larangan dari Allah. Yang penting adalah rasa kehambaan. Ibadah yang sebenarnya adalah yang berasal dari rasa kehambaan. Kalau waktu beribadah itu kita tidak merasa hina dan tidak merasa hamba, tetapi merasa besar diri, sombong, marah, dengki, maka amalan lahir itu bukan lagi dinilai ibadah. Sama halnya dengan seorang kuli yang menghadap tuannya dengan rasa besar diri, dengan bertolak pinggang. Bukankah lebih baik bila ia tidak menghadap, sebab tentu akan menimbulkan kemarahan tuannya.
Hidup bukan untuk dunia tetapi hidup untuk Allah dan untuk mencari bekal kembali ke Akhirat. Untuk tujuan itulah kita dikaruniakan Allah pendengaran dan penglihatan. Gunakanlah keduanya sebaik mungkin sebagai alat untuk sampai kepada tujuan yang diredhai-Nya.


Mari kita obati hati kita dengan menjaga pandangan dan pendengaran hanya kepada yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, merasa takut pada-Nya dan untuk berbakti pada-Nya.
Langkah-langkah yang sebaiknya diambil di antaranya ialah :


    1. Banyakkan membaca Al Quran dan terjemahannya, hadist dan kitab-kitab serta buku-buku agama termasuk majalah dan risalah yang berunsur dakwah. Dalam waktu yang sama, elakkan dari membaca buku-buku khayalan, majalah hiburan dan berita-berita yang jauh dari kebenaran.
    2. Selalu mengunjungi mesjid, tempat pengajian agama, majelis dakwah, tahlil dan zikrullah serta mengelak dari tempat-tempat maksiat, acara-acara yang liar (pergaulan bebas) dan keluar rumah tanpa tujuan, sebab di luar banyak pandangan dan pendengaran yang membawa kepada maksiat. Juga kita mengelak dari bergaul dengan kawan yang mengajak kita kepada maksiat.
    3. Mendatangi orang-orang soleh, sebab dengan melihat mereka, dapat memberi Kekuatan.
    4. Ingat mati, karena selalu mengingat mati akan melembutkan hati.
    5. Elakkan dari menonton program TV yang tidak berfaedah. Sekali kita biarkan mata dan telinga kita memandang dan mendengar perkara yang dibenci oleh Allah, maka selama itu kita biarkan nafsu menjadi raja di hati kita sehingga kita lalai dan tidak takut kepada penglihatan dan pengawasan Allah. Lebih baik kita tidur daripada menonton TV sampai larut malam. Hasilnya kita bisa bangun dengan segar untuk menyembah Allah dan mendekatkan hati pada-Nya. Kalau hati kita merasa sama saja antara melihat maksiat atau tidak, itu tandanya hati kita sudah rusak dan jauh dari Allah.


Itulah di antaranya langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjernihkan batin kita. Perlu diingat bahwa langkah-langkah itu mesti diperjuangkan sungguh-sungguh dan terus menerus.

Kita jangan cepat jemu atau mudah terpengaruh dengan bujukan nafsu liar kita. Dan janganlah kita mengharap untuk memperoleh hasilnya dalam jangka waktu yang singkat. Sebab menurut pengalaman orang-orang yang telah menempuh jalan itu, waktu paling singkat untuk memperoleh hati yang bersih (taraf kerohanian yang tinggi) melalui mujahadah melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi) adalah 20 sampai 30 tahun lebih.

Waktu yang akan kita tempuh, sesuai dengan waktu yang kita gunakan untuk maksiat. Sejak dalam perut ibu, kita sudah menerima makanan yang tidak jelas halalnya. Setelah lahir pun kita berada di tengah-tengah maksiat dan macam-macam kemungkaran. Hati kita sudah gelap pekat dengan karat-karat dosa yang kita lakukan secara sadar atau tidak. Jadi memang sudah selayaknya kalau kita korbankan 20-30 tahun umur kita yang akan datang untuk membersihkan hati nurani kita. Mudah-mudahan di akhir umur kita, dapat kita rasakan kebersihan hati dan keselamatan dari mazmumah. Mudah-mudahan kita dapat menghadap Allah membawa hati yang selamat.
Firman Allah :
Terjemahannya : Di hari itu (hari kita meninggal dunia) tidak berguna lagi harta dan anak kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat. (Asy Syuara’: 88-89)


Apabila ruh kita sudah bersih dan sudah kembali pada fitrahnya semula (sewaktu di alam ruh), maka kita akan merasakan bermacam-macam pengalaman batin yang luar biasa. Tapi hal itu juga tergantung kepada taraf kebersihan ruh yang dapat kita capai. Ada dua peringkat ruh yang bersih yaitu :

1. Ruh yang terlalu bersih (orang yang Mukasyafah)
Biasanya dicapai oleh muqarrobin. Ruh itu dapat menembus hijab antara alam dunia dan malakut dan dapat melihat segala rahasia-rahasia batin manusia.
Hal-hal yang biasanya oleh orang biasa dilihat di alam mimpi maka mereka dapat melihatnya di waktu sadar. Contohnya : kalau ada seseorang yang sifat batinnya seperti anjing maka orang itu akan terlihat oleh mereka seperti anjing. Kalau orang biasa mendapat ilmu dengan belajar maka mereka memperoleh ilmu melalui ilham.


2. Ruh yang bersih
Tingkatan itu dapat dicapai oleh orang-orang soleh. Ruh mereka dapat mengesan rahasia-rahasia batin hanya melalui mimpi-mimpi yang benar dan rasa hati yang benar dan tepat dengan kehendak Allah. Mereka tidak dapat melihatnya secara nyata, sebab hijab pada diri mereka tidak terangkat semua. Allah menceritakan hal itu dalam hadist Qudsi, firman-Nya yang bermaksud : Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang setia pada-Ku) maka Aku mengisytiharkan perang terhadapnya. Dan tiada amal seorang hamba-Ku yang bertakwa (yang beramal) pada-Ku yang lebih Kucintai daripada dia menunaikan semua yang Kufardhukan ke atasnya. Dan hambaKu yang senantiasa bertaqarrub kepadaKu dengan nawafil (ibadah sukarela) sehingga Aku mencintainya, maka jadilah Aku seolah-olah sebagai pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan sebagai penglihatannya yang ia melihat dengannya
dan sebagai tangannya yang ia bertindak dengannya dan sebagai kakinya yang ia berjalan dengannya.

Dan andaikata ia memohon pasti akan Kuberi padanya. Dan andaikata ia berlindung kepada-Ku pasti akan Kulindungi.

Rasulullah SAW bersabda : Terjemahannya : Takutilah olehmu firasat (pandangan tembus) orang-orang Mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah. (Riwayat At Tarmizi)

Sumber : [disini]

" KESADARAN DIRI "

Di dalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu. Saat dimana muncul ketikan dihadapkan persoalan manusia terdorong untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja. "Aku" yang kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak: "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak bereksistensi?"
Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ketuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah ketuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau "sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae:
"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah kepusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit --menjelaskan penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam semesta"
Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz Dzariat 21:
"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada memperhatikan"
Juga dalam surat Al Hijir 28-29:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". (QS Al Hijir 28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat "manusia" adalah makhluk yang selalu membuat keonaran dan pertumbahan darah (QS Al Baqarah 30). Tidak kalah sengitnya setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu terheran-heran: rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.
Kelembutan illahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat,
"Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui" (QS:2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat illahi.
Penjelasan diatas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai "khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan illahi (QS Al Hijir 28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri.
Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu An nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr atau alam malakut adalah realitas diluar jangkauan indra dan imaginasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataan tidak demikian. Argumen bersifat keagamaan ini , bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya1, sehingga ia berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan Prof. As Shabuny dalam surat Al Qiyamah ayat 14:
"akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)."
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".
Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang "Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran disini tidak melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan disini tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran disini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang "Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi. Begitupun Kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan kesyirikan sedikitpun" (QS. Az Zumar 11 & 14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak Allah (QS. 30:30):
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia begitu tampak jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik didalam badan maupun diluar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara' . Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al Hijir di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat Ali Imron 169:
"Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan."
"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku." (QS. Al Isra 85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.
Periode pertengahan kejayaaan Islam di Jawa, berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan tetapi kita melihat dengan jernih ajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tetap memurnikan ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa Jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai "bashirah"(Aku yang mengetahui).
Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang). Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah). Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas kodrat Allah). Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah). Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu rasullullah).
Artinya: (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa reserve (totalitas). Yang mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah).

Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya.
Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika mensikapi atas dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.
Wallahuálam

Sumber {disini}

Kamis, 05 Mei 2011

Tujuh Langit, Tujuh Malaikat Penjaga, dan Tujuh Amal Sang Hamba

Allah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Di setiap langit ada satu malaikat yang menjaga pintu.
 
Dari Ibnu Mubarak dan Khalid bin Ma'dan, mereka berkata kepada Mu'adz bin Jabal, "Mohon ceritakan kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah ajarkan kepadamu, yang telah dihafal olehmu dan selalu diingat-ingatnya karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits terpenting?"
 
Mu'adz menjawab, "Baiklah, akan aku ceritakan..." Tiba-tiba Mu'adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian berkata, "Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah. Ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau...". Kemudian Mu'adz melanjutkan:
 
Suatu hari ketika aku menghadap Rasulullah Saw. yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullah menengadah ke langit dan bersabda, "Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu'adz....!
 
Labbaik, wahai penghulu para rasul....!
 
Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla....!
 
Wahai Mu'adz...
Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Mahatinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.
 
Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit dunia (as-samaa'I d-dunya) yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah kemudian memperbanyak amal tersebut dan
mensucikannya.
 
Namun tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!! Aku adalah pemilik ghibah... Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia -membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya- untuk dapat melewati pintu langit pertama ini....!!"
 
Kemudian keesokan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit kedua. Namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, "Berhenti kalian...! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu dia menginginkan penampilan duniawi belaka ('aradla d-dunya).Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit dua ini menuju langit berikutnya!" Mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.
 
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, "Berhentilah kalian...! Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelis pertemuan mereka...."
 
Malaikat Hafadzah lainnya naik ke langit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit
pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Berhentilah kalian...! Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya..! Aku adalah malaikat penjaga sifat 'ujub (takjub akan keadaan jiwanya sendiri). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar ridak membiarkan amalannya melewatiku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur 'ujub di dalam jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan...!"
 
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memiliki cahaya bagaikan sinar matahari.
Namun sesampainya di pintu langit kelima tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, "Saya adalah pemilik sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal tersebut melewatiku menunju langit berikutnya...!"
 
Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya, haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam. Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, 'Saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan
si hamba tersebut ke wajah pemilikinya. Dia tidak memilki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya...!'
 
Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara' (berhati-hati dalam bermal). Amalan tersebut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit yang ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata, 'Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum'ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini
berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah ta'ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya', dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya' tersebut....!'
 
Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta'ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah Subhanahu. Mereka berhenti di hadapan ar-Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta'ala.
 
Namun tanpa disangka Allah berfirman, 'Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku...! Dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Laknatku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam kalbu-kalbu. Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar..... Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku....!!
 
Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya, 'Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan berkatalah seluruh petala langit, 'Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu..!
 
Mendengar penuturan Rasulullah Saw. sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu'adz Rahimahullah, dengan isak tangisnya yang cukup keras...Lama baru terdiam kemudian dia berkata dengan lirihnya, "Wahai Rasulullah......Bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi...??"
 
Rasulullah bersabda, "Oleh karena itu wahai Mu'adz.....Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...".
 
Dengan suara yang bergetar Mu'adz berkata, "Engkau adalah Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu'adz bin Jabal....Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua...??"
 
Nabi yang suci bersabda, "Baiklah wahai Mu'adz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Alquran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya Ta'ala, "Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya..." (QS An-Naaziyat [79]: 2) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapat tulang........
 
Mendengar penuturan Nabi sedemikian itu, Mu'adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih, "Wahai Rasulullah, Siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua....??"
 
"Wahai Mu'adz...! Sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta'ala.... Oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya.....!!"
 
Khalid bin Ma'dan kemudian berkata bahwa Mu'adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Alquran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Alquran di dalam majelis pertemuannya.
 
Al-Ghazali Rahimahullah kemudian berkata, "Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya, sedemikian besar bahayanya, atsarnya yang sungguh menggetarkan, serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan akal dan menyempitkan dada yang kini penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb-mu, Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan berdoa, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan selalu berdoa kepada Allah Ta'ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan bersar dalam hidupmu yang kalian tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat Allah Ta'ala semata.
 
Dan tidak akan bisa selamat dari tenggelamnya di lautan ini kecuali dengan hadirnya hidayah, taufiq serta inayah-Nya semata. Bangunlah kalian dari lengahnya orang-orang yang lengah. Urusan ini harus benar-benar diperhatikan oleh kalian. Lawanlah hawa nafsumu dalam tanjakan yang menakutkan ini. Mudah-mudahan kalian tidak akan celaka bersama orang-orang yang celaka. Dan mohonlah pertolongan hanya kepada Allah Ta'ala, kapan saja dan dalam kadaan bagaimanapun. Dialah yang Maha Menolong dengan sebaik-baiknya...
 
Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah...
Sumber [klik disini]

Senin, 11 April 2011

" Faedah Shalat Di Awal Waktu "

Setiap peralihan waktu shalat sebenarnya menunjukkan perubahan tenaga alam ini yang diukur dan diserap melalui perubahan warna alam.
fenomena perubahan warna alam adalah sesuatu yang tidak asing bagi mereka yang terlibat dalam bidang fotografi.

Waktu Subuh :
Sebagai contoh, pada waktu Subuh alam berada dalam spektrum warna biru muda yang bersamaan dengan frekuensi tiroid yang mempengaruhi sistem metabolisma tubuh.
Jadi warna biru muda atau waktu Subuh mempunyai rahasia berkaitan dengan penawar/rezeki dan komunikasi.

Mereka yang kerap tertinggal waktu Subuhnya ataupun terlewat secara berulang-ulang kali, lama kelamaan akan menghadapi masalah komunikasi dan rezeki.
Ini karena tenaga alam yaitu biru muda tidak dapat diserap oleh tiroid yang berlaku dalam keadaan roh dan jasad bersatu (keserentakan ruang dan masa) - dalam arti kata lain terjaga daripada tidur.

Di sini juga dapat kita buka rahasia diperintahkan shalat di awal waktu.
Bermulanya saja azan Subuh, tenaga alam pada waktu itu berada pada tahap optimum.
Tenaga inilah yang akan diserap oleh tubuh melalui konsep getaran pada waktu rukuk dan sujud.
Jadi mereka yang terlewat Subuhnya sebenar sudah mendapat tenaga yang tidak optimum lagi.

Waktu Dzuhur :
Warna alam seterusnya berubah ke warna hijau (Isyraq & Dhuha) dan kemudian warna kuning menandakan masuknya waktu Dzuhur.
Spektrum warna pada waktu ini bersamaan dengan frekuensi perut dan hati yang berkaitan dengan sistem penghadaman.

Warna kuning ini mempunyai rahasia yang berkaitan dengan keceriaan.
Jadi mereka yang selalu ketinggalan atau terlewat Dzuhurnya berulang-ulang kali dalam hidupnya akan menghadapi masalah di perut dan hilang sifat cerianya.

Waktu Ashar :
Kemudian warna alam akan berubah kepada warna oren, iaitu masuknya waktu Ashar di mana spektrum warna pada waktu ini bersamaan dengan frekuensi prostat, uterus, ovari dan testis yang merangkumi sistem reproduktif.

Rahasia warna oranye  ialah kreativitas.
Orang yang kerap tertinggal Ashar akan hilang daya kreativitasnya dan lebih malang lagi kalau di waktu Ashar ini jasad dan roh seseorang ini terpisah (tidur)
Dan jangan lupa, tenaga pada waktu Ashar ini amat diperlukan oleh organ-organ reproduktif kita.

Waktu Magrib :
Menjelang waktu Maghrib, alam berubah ke warna merah dan di waktu ini kita kerap dinasihatkan oleh orang-orang tua agar tidak berada di luar rumah.
Ini karena spektrum warna pada waktu ini menghampiri frekuensi jin dan iblis (infra-red) dan ini bermakna jin dan iblis pada waktu ini amat bertenaga karena mereka ikut bergetar bersama alam.

Mereka yang sedang dalam perjalanan juga sebaik-baiknya berhenti dahulu pada waktu ini (shalat Maghrib dulu) karena banyak interferens (pembelauan) terjadi pada waktu ini yang telah mengelirukan mata kita.
Rahasia waktu Maghrib atau warna merah ialah keyakinan, pada frekuensi otot, saraf dan tulang.

Waktu Isya :
Apabila masuk waktu Isya, alam berubah ke warna Indigo dan seterusnya memasuki fase Kegelapan.

Waktu Isya ini menyimpan rahsia ketenteraman dan kedamaian di mana frekuensinya bersamaan dengan sistem kawalan otak.
Mereka yang kerap ketinggalan Isyanya akan selalu berada dalam kegelisahan.
Alam sekarang berada dalam Kegelapan dan sebetulnya, inilah waktu tidur dalam Islam.
Tidur pada waktu ini dipanggil tidur delta di mana keseluruhan sistem tubuh berada dalam istirahat.
Qiamullail :
Selepas tengah malam, alam mulai bersinar kembali dengan warna putih, merah jambu dan seterusnya ungu di mana ia bersamaan dengan frekuensi kelenjar pineal, pituitari, talamus dan hipotalamus.
Tubuh sepatutnya bangkit kembali pada waktu ini dan dalam Islam waktu ini dipanggil Qiamullail.

Begitulah secara ringkas perkaitan waktu shalat dengan warna alam.
Manusia kini seharusnya sadar akan kepentingan tenaga alam ini dan inilah faktor adanya bermacam-macam kaedah meditasi yang dicipta seperti taichi, qi-gong dan sebagainya.

Semuanya dicipta untuk menyerap tenaga-tenaga alam ke sistem tubuh.
Kita sebagai umat Islam sepatutnya bersyukur karena telah dikurniakan’ syariat shalat oleh Allah SWT tanpa perlu kita memikirkan bagaimana hendak menyerap tenaga alam ini.

Hakikat ini seharusnya menginsyafkan kita bahawa Allah s.w.t mewajibkan shalat ke atas hamba-Nya atas sifat Pengasih dan Penyayang-Nya sebagai pencipta karena Dia tahu hamba-Nya ini sangat memerlukan-Nya.
Adalah amat malang sekali bagi kumpulan manusia yang amat lalai dalam menjaga shalatnya tapi amat berdisiplin dalam menghadiri kelas taichinya.
Wallahualam.

Selasa, 05 April 2011

" Mutiara Hikmah Imam Al-Ghazali "

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya lalu beliau
bertanya (Teka Teki ) :

Imam Ghazali = " Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?

Murid 1 = " Orang tua "
Murid 2 = " Guru "
Murid 3 = " Teman "
Murid 4 = " Kaum kerabat "

Imam Ghazali = " Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI . Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati ( Surah Ali-Imran :185).

Imam Ghazali = " Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ?"
Murid 1 = " Negeri Cina "
Murid 2 = " Bulan "
Murid 3 = " Matahari "
Murid 4 = " Bintang-bintang "

Iman Ghazali = " Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU . Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama".

Iman Ghazali = " Apa yang paling besar didunia ini ?"
Murid 1 = " Gunung "
Murid 2 = " Matahari "
Murid 3 = " Bumi "

Imam Ghazali = " Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA NAFSU (Surah Al A'raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka."

IMAM GHAZALI" Apa yang paling berat didunia? "
Murid 1 = " Baja "
Murid 2 = " Besi "
Murid 3 = " Gajah "

Imam Ghazali = " Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah."

Imam Ghazali = " Apa yang paling ringan di dunia ini ?"
Murid 1 = " Kapas"
Murid 2 = " Angin "
Murid 3 = " Debu "
Murid 4 = " Daun-daun"

Imam Ghazali = " Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT . Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat "

Imam Ghazali = " Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? "
Murid- Murid dengan serentak menjawab = " Pedang "
Imam Ghazali = " Itu benar, tapi yang paling tajam sekali di dunia ini adalah LIDAH MANUSIA . Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri "

"sampaikanlah walau satu ayat"..
Sumber Bacaan : [disini]

Jumat, 01 April 2011

"Khutbah Nikah"

Pernikahan adalah salah satu perintah Tuhan, dan ini merupakan jalan para anbiya, termasuk manusia pertama, Adam (as) dan wanita pertama, Hawa (ra).  Mereka melangsungkan pernikahannya di Surga, oleh sebab itu Allah (swt) memberikan suatu Wewangian Surgawi kepada setiap pasangan yang melangsungkan pernikahan agar mereka bahagia.  Tetapi mereka sendiri harus menjaga wewangian itu sepanjang hidupnya, ini sangat penting.  Dan sekarang kita memohon kepada Allah (swt) untuk melestarikan wewangian tadi bagi mereka berdua sepanjang hidupnya di dunia, dan kita berharap agar mereka akan bersatu di akhirat kelak, dalam kehidupan yang kekal.  Itulah makna dari pelaksanaan upacara pernikahan bagi sepasang pengantin baru. 
Kita bersyukur kepada Tuhan kita, yang menciptakan pria dan wanita, dan mengaruniai mereka dari Cinta Ilahiah-Nya.  Jika Dia tidak menganugerahkan Cinta Ilahiah-Nya, tak seorang pun akan menemukan jodohnya.  Dan Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menjalani kehidupan yang mulia, dengan menjadikan orang saling berpasangan, bukannya satu wanita untuk semua pria atau seorang pria bagi seluruh wanita. 
Suatu kehormatan bagi wanita, bahwa ia hanya diperuntukkan bagi seorang pria dan sebaliknya seorang pria hanya untuk seorang wanita.  Itu merupakan suatu kemuliaan bagi mereka dalam kehidupan ini.  Siapapun yang melanggar aturan tersebut, Allah (swt) tidak akan menyebut mereka sebagai orang yang terhormat.  Oleh sebab itu kita memegang teguh upacara yang mulia ini, dan kita memohon kepada Allah (swt) agar mereka berhasil dalam menjalani kehidupan mereka bersama. 
Para wanita hanya boleh memandang suaminya.  Jika kalian ditanya, "Siapakah orang yang paling tampan di dunia?"  Kalian harus menjawab bahwa suami kalianlah yang paling tampan.  Begitu pula dengan para pria, siapakah orang tercantik di London?  Istri kalian.  Jika masing-masing melihat pada pasangannya, takkan ada lagi masalah, baik di London, di Inggris, di Turki, di Siprus, di Timur dan di Barat. 
Ini adalah nasihat yang paling penting bagi pasangan yang baru menikah.  Saya mendengar bahwa banyak pasangan yang mendaftarkan diri melalui petugas KUA.  Setelah tiga hari, tiga minggu, tiga bulan, atau tiga tahun, keduanya menjalani jalan yang berbeda, karena mereka melihat (pada orang lain), yang wanita melihat pria lain; yang pria melihat wanita lain.  Kalau demikian, pernikahan mereka tidak akan berusia panjang. 
Sekarang kalian tengah membangun suatu 'gedung' baru, melangsungkan sebuah pernikahan, dan kita memohon kepada  Allah (swt) untuk membuat kalian saling mencintai satu sama lain. 
==00==
Kalian harus tahu, kalian semua: Jangan menyakiti hati istri kalian, jangan menyakiti hati istri kalian!  Buatlah (suasana) agar mereka senantiasa bahagia dengan kalian; kalau tidak, ketika kalian datang, mereka akan pergi.  Mengerti?  Jagalah agar mereka tetap bahagia.  Dengan demikan mereka pun akan berusaha membuat kalian bahagia. 
Bawakan dia beberapa perhiasan (emas), seperti ini, seperti itu, sehingga dia akan senang denganmu.  Lakukanlah selalu; ketika istrimu marah kepadamu, bawakanlah sesuatu yang disukainya. 
==00==
Wanita sangat beruntung, di dunia dan di akhirat kelak.  Mengapa?  Karena tidak ada pertanyaan bagi mereka. 
Pada Hari Kebangkitan, setiap wanita akan datang bersama suaminya dan ketika sang suami masuk surga, istrinya pun akan masuk bersamanya.  Tak ada pertanyaan bagi mereka.  Tetapi kalian—para pria—akan mendapat begitu banyak pertanyaan. 
Kalian mengerti?  Tunjukkan paspor kalian di depan pintu surga, masuklah, dan istri kalian akan masuk bersama kalian.  "Ini istrimu?"  Allah 'Azza wa Jalla akan bertanya pada kalian.  Kalian akan menjawab, "Ya."  "Kamu bahagia bersamanya?"  Jika kalian menjawab, "Ya"; Allah (swt) akan berkata, "Bawa dia masuk ke dalam surga." 
Tetapi jika kalian berkata, "Ya Tuhanku, Aku tidak pernah puas dengannya.  Dia terlalu banyak bicara!"  Lalu Allah (swt) akan berkata, "Stop!  Berdiri!  Mengapa kamu tidak bahagia dengannya?  Dia adalah hijab antara dirimu dengan neraka.  Jika dia tidak bersamamu, kamu pasti sudah tergelincir ke jurang neraka.  Oleh sebab itu mereka semua lebih berharga daripada kalian."
Ya, karena jika istri kalian tidak melayani kalian sebagai hijab, kita semua akan terjerumus ke dalam neraka, tak seorang pun yang akan mengeluarkan kita, kecuali isteri kita, tempat berlindung kita.  Jadi di siang hari, ketika kalian hendak berangkat kerja, raihlah tangan istrimu (Syaikh Nazim ق menunjukkan gerakan mencium tangan), begitu pula di malam hari.  Kalian harus memperlakukan istri kalian dengan lembut.  Ya, hal ini adalah benar, mutlak, pasti dan bahkan sangat benar. 
Oleh sebab itu kalian harus menjaga hak-hak mereka.  Kalian, para pria suka melakukan kekejaman terhadap wanita dan tidak mempedulikan hak-hak mereka.  Setiap orang harus menjaga hak-hak mereka (wanita).  Allah (swt) akan bertanya, "Mengapa kalian tidak merasa puas terhadap istri kalian?  Apa masalahnya, karena dia adalah yang menjadi hijab antara kalian dengan neraka, apakah dia tidak menjaga rumahmu?  Apakah dia tidak memasak?  Tidak mencuci?  Tidak merawat anak-anak?  Tidak bersih-bersih?"  Allah (swt) akan bertanya. 
Tidak ada kewajiban bagi wanita untuk melakukan suatu pekerjaan. (Menurut syariah Islam, sebenarnya pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak merupakan tugas pria atau suami.  Jika istri tidak sanggup atau tidak ingin merawat anaknya, maka si suami bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi anaknya.  Namun karena sudah menjadi kebiasaan, maka istrilah yang mengerjakan hal-hal tersebut.  Syaikh Nazim (qs) mengatakan bahwa pria harus bersikap lebih apresiatif, arif dan menolong bukannya memanfaatkan istrinya untuk mengurus rumah dan merawat anaknya.)  Kalian (pria) harus melakukannya: mencuci, bersih-bersih, dan merawat anak-anak.  Dalam syariah, Allah (swt) bahkan tidak memerintahkan wanita untuk memberikan susu kepada anak-anak kalian.  Itu termasuk tanggung jawab kalian, wahai pria.  Kalian harus menyediakannya (susu), kalian harus membayarnya.
Kalian memberi bayaran pada wanita?  Untuk setiap bayi yang dia lahirkan, kalian harus membawakan rantai emas (perhiasan) untuk istrimu.  Ya, ketika dia memberikan susunya kepada si bayi, kalian harus membayarnya, bukannya mengatakan, "Kamu dapat melakukannya, kamu bisa menemukan seseorang untuk memberi susu kepada bayimu."
Jangan menyuruhnya untuk bekerja!  Dia hanyalah sebagai hijab antara kamu dengan hal-hal yang haram, itulah tugasnya.  Segalanya berada di pundak pria, tetapi mereka (wanita) mau melakukannya… karena mereka bersyukur kepada kita, mereka melakukannya dengan sukarela.  Apakah kamu sekali-sekali pernah mencuci?