Selamat Datang

"Dunia adalah ladang untuk kampung akhirat"

Himbauan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tulisan dalam blog ini boleh dicopy-kan dan disebarkan, karena tulisan ini sebenarnya juga diambil dari banyak sumber yang terdapat di dunia Maya dan beberapa tulisan penulis sendiri. selama niatnya untuk mengajak kepada yang ma'ruf dan menolak segala kejahatan maka selama itu pula pahala bagi orang-orang yang menyebarkannya.

"Fastabiqul Khairat"

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
(al-Imran 3:104)

Senin, 30 Januari 2012

Ternyata Facebook sudah “Diramalkan” sejak 14 Abad Silam

Suatu ketika selepas Ashar di Masjid Al Hikam. Di salah satu pojok masjid tersebut terdapat Ranid dengan dua orang temannya yakni Ahmad dan Ilmi yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Kali ini tema yang diangkat seputar masalah I’jazul Quran (Mukjizat Al Quran). Diskusi yang berjalan cukup santai namun sarat akan ilmu.
Ahmad adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Jakarta dengan program studi Matematika. Seorang calon pengabdi masyarakat dengan ilmunya. Ahmad selalu berupaya mengaitkan Al-Qur’an dengan bidang studinya matematika. Ahmad sering berkutat dengan angka-angka dalam Al-Qur’an.


Ahmad pun memulai diskusi. “Subhanallah alquran itu bener-bener mukjizat. gw pernah baca di Internet bahwa ternyata kata Yaum (hari) di dalam alquran sebanyak 365 kata sama seperti jumlah hari dalam satu tahun, kata syahr (bulan) disebutin 12 kali sama kayak jumlah bulan dalam satu tahun, sab’u (minggu) disebutin 7 kali sama dengan jumlah hari per minggu. Belum lagi kata-kata yang berlawan kata. Misalnya ad dunya 115 kali, al akhiroh juga 115 kali. Malaikat 88 kali sedangkan asy syayathin 88 kali juga. Al hayat 145 kali begitupun dengan Al Maut yang juga 145 kali. Belum lagi angka 19 yang disebutin dalam alquran surat Al Mudatsir ayat 30. Sebetulnya masih banyak tapi mending antum liat di internet aja nafsi-nafsi, tinggal tanya mbah google ketik key word nya keajaiban angka dalam alquran,” Celoteh Ahmad sekaligus mengakhiri presentasinya.

Tiba giliran Ranid memaparkan pengetahuannya seputar masalah mukjizat Quran. Ranid memang sangat menyenangi diskusi-diskusi tentang kajian Islam berhubung program studi Ranid adalah bahasa Arab yang ia geluti di salah satu Ma’had Lughoh di Jakarta. Maka ia akan memaparkan sepengetahuannya tentang I’jazul Quran dari sudut pandang bahasa.
Setelah mengucapkan basmalah seraya memuji Allah dengan hamdalah, serta sholawat kepada Nabi SAW. Ranid pun mulai berkata “Mumtaz! ustadz Ahmad mantep dah penjelasannya, giliran ane ya? Gini jadi mukjizat kalo diliat dari segi bahasa maka secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘senjata’ untuk melemahkan terhadap tantangan dakwah yang ada. Contoh di zaman nabi Musa AS berhubung waktu itu sihir sedang ngetrend-ngetrendnya maka Allah kasih mukjizat nabi Musa AS ‘menyerupai’ sihir, tapi bukan sihir, dengan tongkatnya yang terkenal. Bisa berubah jadi ular, ngebelah lautan, dsb. Trus di zaman nabi Isa AS berhubung waktu itu ilmu kedokteran lagi maju-majunya maka Allah kasih kepada nabi Isa AS mukjizat yang berhubungan dengan dunia pengobatan. Nah, di zaman Rasul SAW pada masa itu kaum jahiliyyah terkenal akan syairnya yang luar biasa Indahnya. Maka Allah pun memberikan kepada Nabi SAW berupa alquran sebuah mukjizat yang begitu sangat tinggi dan sarat akan nilai sastranya.”
Ranid masih melanjutkan pemaparannya “bahkan Allah nantangin mereka kaum kafir untuk buat satu surat saja yang semisal dengan alquran. Coba ente berdua buka Al-Baqoroh ayat 23
‘dan jika kamu meragukan Al-Quran yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) maka buatlah satu surat semisalnya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang yang benar,’
dan dilanjutan ayatnya, bahwa Allah sudah kasih garansi, mereka pasti gak akan mampu ngebuatnya. Pernah ada kisah tentang Musailamah Al-Kadzdzab yang coba-coba buat alquran tandingan. Salah satu suratnya niru-niru al-fiil. Dan surat gadungan itu ditertawakan banyak orang karena diliat dari sisi bahasa dan maknanya betul-betul jelek. Dan satu hal lagi cuma alquran kitab suci yang bisa dihafal oleh jutaan manusia walaupun manusianya itu sendiri pun tidak mengetahui arti alquran. Bahkan uniknya juga, hafalannya tersebut lengkap sampai titik dan komanya. Subhanallah maha benar Allah dalam firmanNya ‘dan sungguh Kami mudahkan Al-Quran untuk peringatan’ Al-Qomar ayat 17,” Ranid pun mengakhiri makalah yang dibawakannya.
Selanjutnya giliran Ilmi yang mendapat giliran menjelaskan mukjizat quran berdasarkan studi yang ia geluti. Ilmi adalah seorang mahasiswa IT di salah satu PTS di Jakarta. Berbeda dengan kedua orang sahabatnya tadi, Ikhwan lajang ini tengah mengerjakan tugas akhir dalam perkuliahannya. Hal ini dikarenakan Ilmi terlebih dahulu kuliah selepas SMA daripada Ahmad dan Ranid yang sempat menunda jenjang akademisnya.
Lengkap dengan stelan kacamata khas para hacker di film Hollywood, Ilmi pun memulai pembicaraannya. “sebenernya ane belum mau mengatakan ini mukjizat atau gak? terus terang ane gak berani. Tapi salah satu point yang pernah ane dengar dalam seminar Qur’an bahwa kenapa Qur’an disebut mukjizat tak lain dan tak bukan adalah karena kebenarannya dalam ‘meramal’ masa depan. Betul gak Ran?” Ilmi bertanya pada Ranid. Ranid pun mengiyakan pernyataan Ilmi dengan mengaggukan kepala, seolah tak mau kehilangan pemaparan dari Ilmi sahabatnya.
Ilmi melanjutkan “surat al-lahab contohnya, di situ Allah memastikan bahwa Abu Lahab bakalan tetep kafir dan masuk neraka. Dan ketika surat itu turun di Mekkah, Abu Lahab ternyata masih hidup. Sekarang coba antum bayangin kalo seandainya Abu Lahab itu tergerak hatinya untuk masuk Islam atau pun pura-pura masuk Islam maka Al-Quran akan dipertanyakan kebenarannya dari dulu sampai sekarang. Ataupun di surat Ar-Rum di situ dijelaskan bahwa Romawi bakalan menang melawan Persia. Dan itu subhanallah terjadi beberpa tahun kemudian. Setelah pada peperangan yang sebelumnya Romawi kalah maka pada peperangan selanjutnya Romawi menang telak.
Dan satu lagi peristiwa fathul Mekkah di surat Al-Fath. Allah memastikan kaum Muslimin akan memasuki Mekkah setelah sekian lama hijrah ke Madinah. Dan subhanallah hal itu terbukti.”
Fenomena Al-Fisbukiyyah dalam Al-Qur’an
“Ah itu mah dari aspek sejarah Mi, coba dari aspek IT sesuai sama studi ente?” Tanya Ranid seolah menantang Ilmi. “Weitss, tenang-tenang ane kan belum selesai jelasinnya, ana lanjut ya!” Jawab Ilmi. “Nah berhubung tadi ane bilang ana gak berani nyebut ini mukjizat atau nggak, maka ane akan bilang ini kehebatan Quran.” Ilmi masih melanjutkan, sementara kedua rekannya Ahmad dan Ranid masih terus diam dan menyimak kata per kata yang akan terlontar dari mulut Ilmi. “ente berdua tau gak, bahwa sejak 1400 tahun yang lalu alquran sudah menyinggung tentang Facebook dan kawan-kawannya?!” Ahmad sang Cagur (Calon Guru) tertegun diiringi dengan tertawa kecil seolah tak percaya statmen Ilmi. Lain lagi dengan Ranid yang masih berpikir dan mencari-cari bahwa apakah benar kata Facebook ada di dalam alquran. Dengan mencoba mentashrif pola-pola fi’il.
Ilmi meneruskan kembali pemaparannya “Ahmad, coba ente berdua buka surat Al-Ma’arij ayat 19-21
“‘Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan dia jadi kikir.’
Ayat ini menjelaskan fenomena jama’ah “Al-Fisbukiyyah” secara umum. Coba ente-ente liat wirid-wirid mereka.
Kebanyakan isinya keluh kesah. Temanya udah mirip sinetron mendayu-dayu sampai bikin air mata keluar. Sakit dari mulai bisul, cantengan, jerawat, sampai ayan di update di status. Cuaca juga gak ketinggalan. Dikasih hujan, ngeluh gak bisa kemana-mana. Dikasih panas ngeluh kepanasan. Segala maksiat juga disebarin di muka umum. Masalah duit abis, rezeki seret terus dan terus di suguhkan. Ibadah juga ada beberapa yang dipublikasikan puasa, sedekah, tapi alhamdulillah ane belum menemukan ada orang yang lagi sholat update status ‘lagi roka’at dua nih’ naudzubillah kalo sampai ada!” canda Ilmi.
Ahmad dan Ranid pun tertawa dan mengaminkan ucapan Ilmi. “Terus di ayat setelahnya dikatakan ‘apabila dapat kebaikan maka ia kikir.’ Ane rasa betul ayat tersebut. Coba ente berdua hitung ada beberapa orang yang update status semisal alhamdulillah dapet rezeki, buat yang mau ditraktir harap tunggu di depan masjid. Kira-kira ada gak status kayak gitu. Giliran dapat rezeki yang melimpah pada pelit gak mau orang lain pada tau, tapi giliran ditimpa musibah di share kemana-mana.”
“Ah, lo iri aja kali jangan sok jaim deh?!” Kali ini Ahmad yang bertanya kepada Ilmi. Ilmi pun menjawab “ane rasa jaim itu perlu, dalam konteks JAIM, Jaga-Iman berkaitan dengan hal malu, ane tidak mengharamkan update status, akan tetapi alangkah baiknya update-nya itu yang baik-baik pokoknya temanya mengajak kebaikan dari quran, hadits, sahabat, ataupun salafush sholih. Inget akh dalam hadits riwayat Bukhori dikatakan Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu. Ulama bilang bahwa jika kita udah gak malu sama Allah dan tidak merasa diawasinya maka tunaikan saja hawa nafsumu dan lakukan apa yang kau inginkan.” Jawab Ilmi.
Ranid tak menyangka sahabatnya Ilmi dapat menarik dan mengaitkan surat Al-Ma’arij ayat 20-22 dengan fenomena Facebookers yang bergentayangan di dunia maya. Alhamdulillah bertambah satu lagi pengetahuan Ranid pada hari itu. Sungguh Ranid sejatinya sudah sering membaca atau bahkan menghafalkan surat ini. Namun dikarenakan kurang men-tadabbur-i ayat ini maka alangkah kagetnya ia mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh sahabatnya Ilmi.
Diskusi kali ini pun berakhir seiring dikumandangkannya adzan maghrib sebagai pertanda masuknya waktu sholat maghrib.
Sumber Klik di Sini

Menjalani HIDUP PENUH MAKNA BERSAMA ALLAH

Hidup adalah tempat orang berproses dan belajar tanpa henti, baik dari dirinya sendiri, dari alam, lingkungan, maupun dari Al Qur’an dan hadits. Allah menganugerahkan kepada manusia kelebihan berupa akal pikiran dan nafsu. Dari kelebihan itu manusia diuji, apa yang diperbuatnya dengan keduanya. Apakah akal pikirannya dapat mengendalikan hawa nafsunya ataukah sebaliknya.
Allah memberikan sumber penghidupan bagi manusia di bumi ini, syaratnya manusia harus berusaha aktif untuk menemput rizqinya. Terkadang hasil dari usaha kita baik, terkadang buruk. Semua itu hanyalah cobaan dari Allah. Berprasangka baiklah kepada Allah karena segala yang terjadi adalah yang terbaik dan terindah, seburuk apapun kelihatannya. Segala musibah yang menimpa kita adalah karena kesalahan kita sendiri, namun Allah mengabarkan suatu kabar gembira bahwa sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Tentunya, jika kita memperbaiki diri.
Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, semua yang terjadi telah tertulis dalam lauhil mahfudz sejak zaman azali. Allah telah mengatur semuanya dengan serapi-rapinya dan seteliti-telitinya. Kita tidak tahu nasib kita baik ataukah buruk. Namun, jika nasib kita “buruk” masih bias berubah dengan adanya doa. Doa inilah yang nantinya akan selalu bertarung dengan musibah. Untuk membuat doa kita kuat (terkabul) kita harus mengerti bahwa doa itu ditujukan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Menguasai Langit dan Bumi dan Segala Isinya. Kalau kita sudah menyadari hal ini maka kita akan menjaga diri dengan selalu mengikuti aturan-aturan Allah. Misalnya, menerapkan ajaran-ajaran Islam di setiap aspek kehidupan kita. Kita sadar bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah kekal, namun kehidupan kita saat ini adalah di dunia. Kita membutuhkan bekal untuk hidup di dunia, terlebih bekal untuk kehidupan akherat yang lebih kekal dan lebih baik. Di dalam segala hal utamakanlah kehidupan akherat kita. Jangan pernah lalai dari mengingat Allah. Jika kita sudah dicintai oleh Allah maka segalanya akan menjadi mudah. Ingatlah, pertolongan Allah sangatlah dekat. 
Sumber : disini

Menggapai Cahaya Ilahi

Siapa yang hanya hendak mengandalkan rasionya dan tidak mengandalkan kalbunya, maka dia telah mereduksi kemanusiaannya. Itu persis seseorang yang ingin menikmati musik dengan matanya atau persis seseorang yang ingin berjalan dengan kepalanya. Dan, cahaya Ilahi itu bisa diperoleh melalui pembersihan hati (kalbu).

Ada perbedaan antara siraman rohani dan uraian ilmiah. Uraian ilmiah itu arahnya ke akal kita serta baru dianggap baik dan sukses kalau ada sesuatu yang baru diterima, berbeda dengan siraman rohani. Siraman rohani itu tertuju ke kalbu kita, yang bisa saja didengar berulang-ulang karena belum mantap di hati sebelumnya, sehingga pengulangan itu akan memantapkan hatinya, apalagi kalau hati itu terbuka.

Itulah salah satu perbedaan antara uraian ilmiah dan uraian yang bersifat siraman rohani, karena memang ilmu itu berbeda dengan iman. Ilmu itu titik tolaknya akal, sedangkan iman itu titik tolaknya kalbu; Iman itu menyesuaikan seseorang dengan jati dirinya, sedangkan ilmu itu menyesuaikan seseorang dengan lingkungannya; Ilmu itu mempercepat seseorang sampai ke tujuan, sedangkan iman itu menentukan arah yang dituju seseorang; Iman itu revolusi internal, sedangkan ilmu itu revolusi eksternal; Iman itu memelihara seseorang dari petaka ukhrawi, sedangkan ilmu itu memelihara seseorang dari petaka duniawi; Iman itu diibaratkan dengan air bah yang suaranya sangat germuruh tetapi selalu menenangkan pemiliknya, sedangkan ilmu itu diibaratkan dengan air telaga yang jernih tetapi tidak jarang mengeruhkan hati pemiliknya.

Dalam tulisan yang singkat ini, saya ingin menguraikan tentang Fathullah. “Fath” itu terambil dari kata fataha yang artinya membuka. Sesuatu yang terbuka tadinya tertutup, tidak dibuka kalau dia sudah terbuka, kecuali kalbu. Bisa saja kalbu itu sudah terbuka tetapi masih harus dibuka lagi, dalam arti dilebarkan dan dilebarkan lagi, hingga makin banyak cahaya Ilahi yang ditampung. Ketika kita berkata fathullah, maka yang membuka itu adalah Allah. Hati ini dalam bahasa al-Quran biasa dilukiskan dengan kata nafs, biasa dilukiskan dengan kata qalbu, dan biasa juga dilukiskan dengan kata fu’ad.

Nafs adalah sisi dalam manusia, sedangkan qalbu mempunyai tiga tempat, yaitu: pertama, mengandung segala sesuatu yang disadari manusia dan dia tidak segan orang lain tahu isinya; kedua, segala sesuatu yang disadari manusia tetapi dia enggan diketahui orang lain. Itulah yang dirahasiakan; dan ketiga, sesuatu yang pernah diketahui oleh manusia tetapi sudah dilupakan, sehingga dia telah berada di bawah sadar manusia. Fu’ad adalah apa yang disadari.

Allah berfirman, “intajhar bil qaul fainnahu ya’lamu as-sirra wa akhfa”. Kalau engkau berucap dengan ucapan yang jelas, maka Allah mengetahui itu dan mengetahui yang rahasia, mengetahui juga yang lebih rahasia dari rahasia (kalbu).

Ada juga yang dinamakan al-futuhat al-Ilahiyah dan al fath ar-rabbani, selain istilah fathulllah. “Fath” bisa digunakan untuk terbukanya kalbu dalam menerima pengetahuan. Pengetahuan terbagi dua, yaitu ada yang diusahakan manusia, yang diisyaratkan dengan ‘allama bil qalam, dan ada yang tidak diusahakan manusia, yang diisyaratkan oleh ‘allama al-insana ma lam ya’lam. Yang terakhir ini puncaknya adalah wahyu dan tingkat yang paling rendah adalah mimpi. Mimpi ada yang merupakan sesuatu yang dipikirkan sebelum tidur dan ada yang merupakan sesuatu yang dialami sewaktu tidur, kemudian melahirkan mimpi, seperti orang yang mimpi tercekik, boleh jadi ada bantal di lehernya. Ada juga mimpi yang bersumber dari Allah Swt, itulah mimpi orang-orang shaleh dan mimpi yang dialami oleh para Nabi, seperti yang dialami Nabi Yusuf As. dan Nabi Ibrahim As. Mimpi ini menjadi salah satu bentuk dari al fath ar-rabbani, terbukanya apa yang tersingkap.

Semua yang bersumber dari Allah Swt. adalah cahaya Ilahi. Cahaya Tuhan itu wahyu Tuhan yang bisa dilukiskan seperti sinar matahari, bukan saat teriknya matahari tetapi saat naiknya matahari sepenggalan. Itulah waktu adh-dhuha. Sinar ini tidak membeda-bedakan objeknya. Siapapun yang bersedia keluar, dia akan mendapatkan sinar itu. Siapapun yang membuka hatinya, niscaya Allah akan mencurahkan cahaya ke dalam hatinya. Tetapi ingat, sinar hanya menembus objek yang transparan. Sinar tidak menembus tembok ini. Tetapi, sinar itu bisa memantul. Bisa saja saya menyampaikan informasi yang tidak mau anda terima, tetapi justru diterima dan dimanfaatkan oleh orang lain. Sinar Ilahi persis seperti itu, tidak membeda-bedakan. Dia akan menjadi al-fath ar-rabbani atau terbukanya hati yang hanya akan dilakukan oleh Allah, apabila hati ini merupakan sebuah tempat yang transparan.

Semua anugerah Allah yang berupa kebajikan itu tidak akan terlaksana kecuali setelah melalui tiga fase, yaitu datang dari Allah Swt, datang dari manusia, dan datang lagi dari Allah. Saya akan berikan contoh, bagaimana al-fath ar-rabbani atau terbukanya hati itu melangkah. Langkah yang pertama adalah memperoleh taubat. Taubat itu adalah stasiun pertama menuju Allah Swt. Taubat tidak bisa terlaksana kecuali kalau Allah terlebih dulu membuka langkah itu. Baca sewaktub Adam As. berdosa, Allah melangkah lebih dulu dengan memberikan kalimat-kalimat kepada Adam As, “fatalaqqa adamu min rabbihi kalimat”. Begitu dia menerima ayat-ayat itu, datang langkah kedua dari Adam dengan membaca doa, “rabbana dzalamna anfusana fain lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna min al-khasirin”. Setelah itu, baru datang pengabulan taubat Allah sebagai langkah ketiga.

Allah Swt melalui rasulnya sudah melangkah yang pertama bersama rasulnya. Setelah turun ayat-ayat al-Quran ini, terserah kita apa kita sudah siap membuka hati kita. Kalau siap, yakinlah bahwa al-fath ar-rabbani akan datang kepada kita yang telah membuka hatinya. Adapun yang menutup hatinya jangan harap akan memperoleh fathullah itu (al-fath ar-rabbani). Sinar matahari itu bermacam-macam, ada yang dapat kita lihat dengan pandangan mata kita, tetapi ada juga sinar yang tidak terdeteksi oleh mata kita, ada sinar gamma, ada gelombang-gelombang radio, dan ada juga yang dinamakan dengan sinar ultra violet.

Orang-orang yang terbuka hatinya akan menyadari bahwa boleh jadi ada hal-hal dalam kehidupan dunia ini atau dalam firman-firman Allah yang baru masuk ke dalam hati bukan melalui rasio tetapi melalui kalbu. Ini perlu saya tekankan, apalagi para mahasiswa. Ada orang yang berkata, semua harus bersifat rasional. Saya katakan, siapa yang hanya hendak mengandalkan rasionya dan tidak mengandalkan kalbunya, maka dia telah mereduksi kemanusiaannya. Orang yang ingin memahami segala sesuatu dengan rasionya, itu persis seseorang yang ingin menikmati musik dengan matanya atau persis seseorang yang ingin berjalan dengan kepalanya.

Ada hal-hal dalam kehidupan kita ini yang baru dapat dipahami hanya dengan melalui kalbu kita, melalui siraman cahaya Ilahi. Nah, itu diperoleh melalui pembersihan hati ini, bukan diperoleh melalui korekan kuping dan bukan pula diperoleh dengan basuhan mata. Oleh karena itu, hati bisa menjadi wadah dan bisa juga menjadi alat. Ada orang yang hatinya hanya bagaikan kolam diisi dengan pengetahuan dari luar dan ada juga orang yang hatinya seperti sumur.

Di samping sebagai wadah, juga sumur itu adalah sumber datangnya air dari dalam, di mana air yang bersumber dari mata air itu jauh lebih jernih daripada air yang datang dari luar. Dengan demikian, bila ingin mendapatkan fathullah atau al-fath ar-rabbani, jadikanlah kalbu anda sumur. Untuk membuat sumur, gali batu-batunya dan keluarkan tanah-tanahnya sampai anda menemukan mata air. Dalam arti lain, keluarkan kotoran-kotoran yang ada di dalam hati, niscaya akan datang kepada anda al-futuhat al-Ilahiyah sampai datangnya pengetahuan yang tidak anda usahakan tetapi langsung datang dari Allah Swt. Wallahu A’lam bi ash-Shawab

Sabtu, 22 Oktober 2011

PERINTAH BERDOA KEPADA ALLAH

Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”. (Al Mukmin 60)

berdoa1Dalam keadaan sehari hari banyak manusia yang lupa pada kelemahan dirinya, mereka terlalu bangga dengan kemampuan dan kecerdasan dirinya . Mereka merasa bahwa berbagai kenikmatan, kekayaan, pangkat , kemuliaan yang mereka peroleh adalah dari hasil jerih payah, kecerdasan dan kemampuan yang mereka miliki. Berbagai kenikmatan , kesenangan, pangkat dan derajat yang mereka miliki menimbulkan kesombongan dan kepongahan pada diri mereka, sehingga mereka lupa pada Allah yang telah memberikan semua karunia itu padanya.
Manusia baru terkejut dan terperangah ketika diuji oleh Allah dengan berbagai bencana dan musibah. Tatkala kapal yang mereka tumpangi diayun gelombang lautan yang tinggi dan ganas, tatkala pesawat yang mereka tumpangi dihantam badai dan topan, tatkala gedung dan rumah mereka digocang oleh gempa yang dahsyat, tatkala banjir bandang dan longsor datang menerjang. Ketika itu manusia baru menyadari kelemahannya, mereka baru ingat kepada Allah yang selama ini telah mereka lupakan, lenyap sudah kepongahan dan kesombongan diri mereka selama ini …..….mereka berseru, berdo’a pada Allah dengan sepenuh hati , mohon untuk diselamatkan dari bencana dan bahaya yang mengancam mereka itu.
Naudzubillahi mindzalik….mari kita jauhkan sifat dan perilaku seperti yang diceritakan diatas. Jauhkan diri dari sifat sombong, bangga, ta’ajub dengan kemampuan diri, bertawadhulah pada Allah. Ingatlah pada Allah terus menerus dalam shalat maupun diluar shalat, ketika berdiri , duduk dan berbaring. Jangan biarkan waktu berlalu walaupun hanya sebentar , tanpa berdzikir mengingat Allah.

Dalam kehidupan sehari hari banyak waktu kita yang terbuang percuma, ketika sedang duduk mengemudikan kendaraan menuju atau pulang dari kantor, ketika duduk dikendaraan umum dalam suatu perjalanan, ketika sedang berjalan dipasar, Mall atau jalan raya….isilah waktu tersebut dengan berdzikir dan berdo’a pada Allah. Jangan berdzikir atau berdo’a hanya ketika datang bencana atau musibah.
Orang yang ber-iman dan bertakwa pada Allah selalu berdo’a pada-Nya diwaktu aman ,nyaman maupun diwaktu sulit atau ketika datang bencana. Rasulullah telah mengajarkan kita untuk berdoa didalam sholat antara lain ketika duduk ifthiros kita membaca do’a sebagai berikut : Robbighfirli…warhamni…wajburni…warfa’ni….warzukni…wahdini…wa’afini…wa’fu’anni….Ya Allah ampuni aku,Rahmati aku, tutupi semua keburukanku, angkat derajatku, beri aku rezeki, beri aku petunjuk, beri aku kesehatan, dan maafkan aku” .
Itulah do’a sapujagat yang selalu kita baca pada setiap rakaat sholat, kita membacanya minimal 17 kali dalam satuhari satu malam. Sayang kebanyakan umat Islam membaca do’a ini dengan tergesa gesa dan banyak juga diantaranya yang tidak mengerti bacaan do’a tersebut. Jika umat Islam membaca do’a tersebut dengan sungguh sunguh dan Allah pasti mengabulkan do’a yang dibaca dengan sungguh sungguh niscaya umat Islam akan menjadi umat yang berjaya didunia ini.
Rasulullah mengatakan :” Ad Du’a mughul ibadah….do’a itu adalah intinya ibadah”. Berdoalah pada Allah sebelum datang bencana yang tidak terelakan. Masih banyak kesulitan dan kesusahan yang menanti kita dimasa yang akan datang. Berlindunglah pada Allah dari kesukaran kesempitan dan kegelapan hidup, dari kesulitan dan kegelapan dialam barzakh, padang mahsyar, kesulitan dihari berhisab, kesulitan ketika menyeberang jembatan asshiroth, kesulitan dan bahaya ancaman api neraka.
Berdoalah ketika masih sehat, dan dalam kelapangan hidup , jangan tunggu sampai datang kesulitan yang menimbulkan kepanikan. Apalagi berdo’a diakhirat kelak ketika melihat azab dan siksa Allah, tidak ada gunanya berdoa dihari itu. Allah hanya menerima do’a dan taubat ketika masih hidup didunia ini.
Hiasilah kehidupan ini dengan aktifitas dzikir dan do’a yang dikerjakan sepanjang hari ketika berdiri, duduk dan berbaring. Jangan hanya berdzikir dan berdo’a ketika sholat atau sesaat setelah selesai sholat, tapi lakukan itu sepanjang waktu diluar sholat sebagaimana firman Allah dalam surat Jumu’ah ayat 10 :
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Jumuah 10)
Kita bisa berdzikir dan berdo’a didalam hati tanpa diketahui oleh orang disekitar kita ,ketika berjalan, berdiri , duduk dikendaraan, kantor , tempat umum dan dimanapun kita berada. Isilah waktu kosong dengan berdzikir dan berdo’a pada Allah didalam hati , tanpa diketahui oleh orang yang berada dikiri kanan kita. Itulah yang dianjurkan Allah dalam surat Al A’raf 205 :

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. ( Al A’raaf 205)

Sumber : [disini]

Jumat, 21 Oktober 2011

" Ketika Langit dan Bumi Bertasbih "

Dipenghujung tahun 2004 Gempa dan tsunami melanda Aceh dengan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit. Diakhir tahun 2009 Gempa melanda Jawa Barat dan Sumatra Barat juga dengan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit. Sekarang diakhir tahun 2010 kembali bencana itu terjadi, gempa dan gelombang tsunami meluluh lantakan pulau Nias, diikuti dengan meletusnya gunung Merapi di Jawa tengah. Bukan tidak mungkin kejadian seperti ini masih akan terus berulang dimasa yang akan datang.
Azhari Akmal Tarigan dalam tulisannya yang kami copy dari “Beritasore.com” menulis pada tahun 2009 tentang bencana gempa yang masih akan terjadi berulang dimasa yang akan datang, sebagai kegiatan tasbihnya bumi mensucikan Allah. Bumi selalu bertasbih mensucikan Allah namun manusia yang berdiam diatas bumi selalu berbuat maksiat dan kufur pada Allah, hal mana menimbulkan kegelisahah dan keresahan bagi bumi yang selalu bertasbih pada Allah.
Ketika bumi menggeliat menyatakan kegelisahannya maka terjadilah berbagai bencana yang menimpa manusia yang berdiam diatas permukaan bumi itu. Mari kita jadikan semua musibah dan bencana ini sebagai bahan renungan dan instropeksi diri. Mari kita perbaiki diri kita masing masing tingkatkan amal ibadah dan kepatuhan pada Allah. Mari kita bertasbih mensucikan Allah sebagaimana langit , bumi dan apa saja yang ada padanya telah bertasbih mensucikanNya sebagaimana disebutkan dalam firmannya dalam surat As Shaaf ayat 1 :

“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada dilangit dan apa saja yang ada dibumi, dan Dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana” (As Shaaf 1)
Mari kita renungkan berapa menit waktu yang kita sediakan untuk berdzikir dan bertasbih mensucikan Allah diwaktu siang maupun malam, sementara mahluk Allah lainnya para Malaikat, Burung, Gunung, Langit dan Bumi tidak pernah berhenti bertasbih mensucikanNya walaupun hanya sesaat.
Tidak ada satu kekuatanpun yang dapat mencegah terjadinya gempa, tsunami . letusan gunung berapi , badai dan topan, ataupun jatuhnya asteroid atau meteor kemuka bumi ini. Hanya Allah yang mampu menentramkan bumi ini dari berbagai bencana, mari kita berlindung dari berbagai bencana yang hadir dimuka bumi dengan memperbanyak istighfar, dzikir dan tasbih memujiNya. Berikut kami sampaikan tulisan dari Azhari akmal Tarigan setahun yang lalu sebagai bahan renungan bagi kita.

Gempa Dan Tasbih Bumi
Oleh Azhari Akmal Tarigan, 2 Okt 2009
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Al-Isra’ : 44)
Gempa berkekuatan 7.6 SR kembali mengguncang bumi Indonesia. Kali ini Sumatera Barat, “mendapat giliran.” Sebelumnya Tasik Malaya dan sekitarnya (Jawa Barat) juga bergoyang digoncang gempa dengan kekuatan 7,3 SR. Tentu gempa di ranah Minang bukan yang terakhir. Setelahnya akan ada gempa-gempa lainnya yang akan menyusul. Entah di mana. Sayangnya, sampai hari ini ilmu pengetahuan belum mampu memprediksi kapan dan di mana terjadinya gempa yang “baru”. Suka atau tidak suka, kita menunggu giliran saja. Kita sepertinya tidak memiliki pilihan lain. Kita terlahir sebagai anak Indonesia yang wilayahnya rawan gempa. Satu sisi kita bersyukur. Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Namun pada sisi lain, kita harus bersabar, mana kala gempa memporak-porandakan apa yang kita miliki.
Tanpa bermaksud menafikan apa lagi menolak analisis ilmiah yang mengatakan gempa adalah gejala atau fenomena alam “biasa”. Gempa dapat terjadi kapan dan di mana saja. Terlebih-terlebih Indonesia yang disebut-sebut sebagai tempat pertemuan empat lempeng dunia. Namun tetap saja, kita memerlukan cara pandang baru. Analisis yang mencerahkan dan lebih menenteramkan.
TERKENDALA ABUVULKANIK TEBALDi samping analisis ilmiah yang tetap diperlukan, sejatinya kita juga harus melihat gempa dari sudut pandang yang berbeda. Kita memerlukan pendekatan teologis-spiritualistik. Pendekatan ini menurut saya akan membuat kita lebih siap secara spiritual dalam menerima akibat gempa.  Saya tidak mengatakan, gempa adalah takdir Allah yang harus diterima. Jauh lebih penting adalah bagaimana kita bersikpa terhadap alam. Gempa membuat kita tersadar bahwasanya, selain manusia, langit dan bumi beserta apa yang ada di dalamnya juga makhluk Allah yang memiliki hukum dan kehidupannya sendiri. Manusia bukanlah makhluk tunggal di muka bumi ini. Manusia bersama “jenis makhluk dan benda lainnya” juga memiliki hak yang sama untuk dapat hidup dan tentu saja mengikuti sunnatullah yang telah ditetapkan Allah SWT. Kendatipun alam dengan segala isinya sangat mungkin ditundukkan (taskhir) oleh manusia –tentu saja dengan ilmu pengetahuan- namun tidak berarti alam harus tunduk kepada manusia. Alam tetap tunduk dan pasrah (islam) kepada Allah. Apa bila alam dapat ditundukkan manusia itu adalah dalam rangka memudahkan kehidupan dan “mensubsidi” kebutuhan manusia.
Alam dengan isinya sesungguhnya memiliki kehidupannya sendiri. Harus disadari, kita dan alam memiliki hak yang sama untuk mengabdi kepada Allah, tentu saja dengan caranya masing-masing. Sejatinya, sesama makhluk Allah, kita harus dapat mengharmonisasikan kehidupan kita dengan kehidupan alam. Apabila kita tidak memiliki kemampuan dalam mengharmonisasikan kehidupan kita dengan alam, yang terjadi adalah disharmonisasi, ketegangan, benturan dan saling menghancurkan.
tsunami-aceh-1Dalam konteks artikel ini, salah satu yang perlu kita perhatikan adalah apa yang disebut Al-Qur’an dengan “tasbih bumi”. Ayat yang dikutip diawal tulisan ini cukup untuk menjadi dalil bahwa bumi (juga makhluk Allah lainnya) bertasbih kepada Allah. mereka menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tak pantas dipikulnya. Mereka sucikan Allah dengan cara yang sama sekali tidak diketahui manusia.
Dari sudut bahasa, tasbih berasal dari kata sabbaha-yusabbihu-tasbihan. Di dalam kamus, arti dasar dari tasbih (al-sabh) adalah menjauh dari tempat asal. Al-sabh atau as-sibahah juga diterjemahkan dengan berenang. Ada juga yang langsung menterjemahkan tasbih dengan mensucikan Allah. Al-Sabh bisa juga berarti kosong, hampa. Agaknya kata tasbih memiliki kedekatan arti dengan tanzih dan taqdis (quddus).
Dari arti inilah tasbih diartikan sebagai upaya menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas baginya. Orang yang bertasbih adalah orang yang mensucikan Allah dari segala macam sifat dan perbuatan yang tidak layak dilekatkan kepada Allah. Kata subhana Allah yang sering kita lafalkan setiap kali selesai shalat berarti maha suci Allah.
Seorang ilmuwan muslim yang bernama Zaghlul An-Najjar menulis buku yang  berjudul, Shuarun min Tasbih al-Kainaat Lillah. Buku ini terbit di Mesir pada tahun 2003. Pada tahun 2008, penerbit Al-Kautsar menterjemahkan buku tersebut dengan judul, Ketika Alam Bertasbih.
Adalah menarik ketika An-Najjar mengatakan, “Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap langit dan bumi di dunia dapat merasa, berbicara, menangis dan merasa sakit dan pedih. Ketika hari kiamat terjadi, masing-masing akan membeberkan dan menceritakan semua itu. Tentang masalah ini, Allah SWt berfirman sebagai komentar terhadap perbuatan maksiat yang dilakukan oleh Fir’aun dan kaumnya, “maka langit dan bumi tidak akan menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh. (Zaghlul An-Najjar: hal. 129).
Ada riwayat dari Nabi yang menjelaskan makna surah Al-Zalzalah ayat 3 yang mengatakan, Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. Lalu beliau bertanya, tahukah kalian apa beritanya ? “ mereka menjawab, “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Sesungguhnya beritanya bahwa ia (bumi) bersaksi atas setiap hamba atau umat yang berada di atasnya. Ia berkata, Ia melakukan ini pada hari ini, begini dan begitu…seterusnya. Inilah beritanya, (HR. At-Tirmizi hadis 2429 dan 353).
Adalah keliru jika kita menganggap bumi sebagai benda mati yang sama sekali tidak memberi respon dan reaksi terhadap apa yang dilakukan manusia di muka bumi ini. Jelas bahwa bumi tempat kita berpijak selalu bertasbih dan bertahmid kepada Allah.
Bumi selalu mensucikan Allah dan memujinya dengan cara yang tidak pernah kita ketahui. Bisa dibayangkan jika manusia yang hidup di atas muka bumi ini tidak bertasbih kepada Allah. Betapa tersiksanya bumi menampung manusia-manusia kufur yang melupakan Allah.
Jangan-jangan bumi merasa berat dan menanggung beban yang tak tertahankan karena diinjak manusia-manusia kotor. Jangan-jangan, gempa adalah reaksi bumi. Bumi marah kepada manusia yang tidak pernah tersadar, kufur dan ingkar kepada Allah SWT.
Adalah menarik jika kita merenungkan firman Allah pada surah Al-Zilzalah ayat 1-3 sebagai berikut,
“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat).(1).  dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. (2). Dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”, (3).
Ayat ini dipahami ulama tafsir sebagai informasi tentang dahsyatnya kiamat. Saya berpikir, jika ayat ini sekedar berita tentang kiamat, lalu apa manfaatnya buat kita di dunia ini. Bukankah banyak ayat lain yang berbicara tentang kiamat. Adalah lebih penting bagi saya untuk mengkontekstualisasikan ayat ini dengan kondisi kekinian kita.
tsunami-4Ada yang menarik di dalam Tafsir Depag yang terbaru. Ketika menafsirkan ayat ini dijelaskan bahwa letusan gunung Krakatau pada tahun 1883, gempa dan tsunami di Aceh 2004, Lumpur panas di Sidoarjo untuk sekedar menyebut contoh- adalah penjelasan bagaimana bumi digoncangkan. Lalu bayangkan pula bagaimana ketika kiamat terjadi, tentu lah lebih dahsyat lagi.
Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan bumi bergoncang ? Jawabnya, karena bumi saat ini merasakan beban yang terlalu berat seakan ia tak lagi mampu memikulnya.
Bumi tak kuasa menampung beban berupa dosa-dosa manusia yang tak pernah sadar melakukan maksiat di atas bumi yang selalu bertasbih kepada Allah. Bagaimana mungkin kita mempertontonkan kemaksiatan dan kejahatan kita di atas bumi yang selalu bertasbih kepada Allah.
bagaimana mungkin kita tidak merasa bersalah ketika melakukan kemaksiatan di bawah naungan langit yang juga tidak pernah absent bertasbih kepada Allah ?
Sejatinya manusia harus mengharmonisasikan kehidupannya dengan bumi. Jika manusia bertasbih, menundukkan dirinya kepada Allah, dan semesta juga bertasbih, bisa dibayangkan kehidupan kita di alam ini. Semuanya berjalan damai, aman dan sejahtera. Bukanlah Allah pernah berfirman, “Allah tidak akan menghancurkan suatu negeri dengan kezaliman, padahal penduduknya (ahluha) orang-orang saleh. (Periksa Surah Hud).
Tidak cukupkah peringatan yang diberikan Allah kepada kita ? Kapankah kita akan sadar bahwa hidup kita saat ini telah keluar dari sunnatullah?  Hidup kita tidak lagi harmonis denga kehidupan semesta.! Jika kita tak juga sadar, bersiaplah menunggu giliran ? Wallahu a’lam.***** ( Azhari Akmal Tarigan : Koordinator Tim Penulis Tafsir Al-Qur’an Karya Ulama Tiga Serangkai - Terbit Di Harian Waspada tgl 02/10/2009 ).**** (Sumber Beritasore.com) . 

Sumber : disini

" Tawakal Lalu Ikhtiar "

Dalam upaya meningkatkan mutu ilmiah dan amaliah pengabdian kepada Alloh SWT, perlu dikaji dan direnung ulang, sekaligus evaluasi diri tentang tawakkal kita kepada Alloh SWT, yang sering kali kita ucapkan dengan “pasrah bongkokan”. Tawakkal merupakan amaliah fundamental qolbiyah yang berhubungan dengan keimanan, berpaut erat dengan pilar/rukun iman yang keenam, yaitu iman kepada qadar khoirihi wa syarrihi minalloh. Diharapkan agar kita dapat melaksanakan tawakkal dengan baik dan benar berdasarkan ajaran TQN…
Tawakkal adalah kata jadian dari kata wakalah yang berarti at-tafwidh (penyerahan) dan al-i‘timad (penyandaran). Orang yang menyerahkan dan menyandarkan urusannya disebut mutawakkil ‘alaih. Sedangkan orang yang diserahi disebut wakil. Penyerahan dan penyandaran (tawakkal) dilakukan karena yakin dan percaya bahwa yang diserahi urusan (wakil) mempunyai kemampuan dan keahlian untuk menanganinya, sehingga sikap orang yang menyerahkan urusannya kepada wakil merasa tenang, tenteram, tidak khawatir, tidak repot, karena Alloh adalah al-Wakil. Hasbunalloh wa ni‘mal wakil ni‘mal maula wa ni‘man nashir.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tawakkal adalah pasrah dan menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada al-Wakil Yang Maha Mewakili, Yang Maha Hak, Alloh. Tokoh sufi Dzun Nun aI-Mishri ra menyatakan, tawakkal adalah tidak turut serta mengatur diri dan melepas daya kekuatan karena telah meyakini bahwa tiada daya dan kekuatan (yang dimiliki manusia) selain semata-mata dari Alloh. Alloh SWT berfirman:
“Dan hanya kepada Alloh saja orang yang bertawakkal itu berserah diri.” (Q.S. Ibrahim: 12)
“Dan hanya kepada Alloh hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah:23)
Dan masih banyak lagi dalam surat-surat lainnya. Rasululloh Saw bersabda: “Andaikan kamu bertawakkal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia (Alloh) akan memberimu rizki sebagaimana Dia (Alloh) memberi rizki kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.”
Dalam sabdanya yang lain: “Barang siapa memusatkan perhatian-nya kepada Alloh, niscaya Alloh men-cukupinya dari setiap keperluan dan memberinya rizki dari jalan yang tidak disangkanya. Dan barangsiapa yang memusatkan perhatiannya kepada urusan dunia, niscaya Alloh me-nyerahkannya kepada dunia.”
Di antara doa Nabi SAW:
“Ya Alloh, sungguh aku memohon taufikMu untuk mencintaiMu melalui amal-amal dan untuk ber-tawakkal kepadaMu dengan benar dan untuk berbaik sangka kepadaMu.”
Hakikat Tawakkal
Hakikat tawakkal adalah suatu kondisi batin yang tauhid, hati seseorang yang ditajalli dan mendapat pancaran sifat wahdaniyat Alloh sehingga hatinya sadar menerima dan membenarkan. Kondisi makrifat ini nampak pengaruhnya dalam amal.
Makrifat adalah dasar tawakkal, yakni tauhid. Orang yang bertawakkal kepada Alloh adalah orang yang tidak melihat selain Alloh. Kesempurnaan makrifat ini diterjemahkan dalam pernyataan:
“Tiada Tuhan selain Alloh, tiada sekutu bagi-Nya. Dia memiliki segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sedangkan manfaat tawakkal, antara lain sebagai berikut:
1. Iman semakin mantap, hati tenang, jiwa tentram, berpikiran jernih, pandangan jauh dan dalam bertindak terarah dan terbimbing.
2. Mendapat jaminan kecukupan rizki dari Alloh.
3. Ridho terhadap ketetapan (qadar) Alloh, meningkat dan jauh dari tamak dan hasud.
Derajat Tawakkal
Ditinjau dari segi kekuatan dan kelemahan, kadar tawakkal ada tiga tingkatan:
Tingkatan pertama, keadaannya yakin terhadap penyerahannya kepada Alloh dan pertolongan-Nya. Seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang ditunjuk sebagai wakilnya. Untuk memilih wakil harus selektif melalui proses proses pemikiran dan pertimbangan.
Tingkatan kedua, (tingkatan ini lebih kuat lagi), yaitu keadaannya bersama Alloh seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang lain selain ibunya dan tidak mau berpisah dan senantiasa bergelayut memegangi tangan ibunya. Tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya sendiri. Jika ia menghadapi suatu masalah, maka pertama kali yang terlintas dalam hatinya adalah ‘ibu’. Siapa yang pasrah kepada Alloh, bersandar kepada-Nya, maka keadaan-nya seperti keadaan anak kecil dengan ibunya. Kepasrahan anak kecil kepada ibunya tidak berdasarkan pemikiran dan pertimbangan, hanya kepercayaan yang penuh dan bulat.
Tingkatan ketiga, (tingkatan paling tinggi) keadaannya di hadapan Alloh seperti mayit di tangan orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Alloh melainkan dia melihat dirinya seperti orang mati.
Orang ini terhadap Alloh tidak mempunyai ikhtiar, karena ia tahu bahwa Alloh yang memberlakukan taqdir hingga ia hanya bisa menunggu apa yang terjadi padanya.
Amal (Tindakan Orang-orang
yang Tawakkal)
Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakkal adalah tidak perlu berusaha, bekerja atau bertaubat hanya menyerah. Anggapan ini keliru, karena sikap itu adalah bodoh dan haram menurut syara’. Syari’at memuji orang-orang yang bertawakkal dan menganjurkan melakukannya. Pengaruh tawakkal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba untuk meng-gapai tujuan, antara lain untuk men-datangkan manfaat yang belum ada, memelihara yang ada, mencegah bahaya agar tidak terjadi atau menghilangkan marabahaya.
Bagi orang-orang yang semata-mata menempuh jalan akhirat, ia bertawakkal kepada Tuhan dalam masalah rizki, tidak membebani diri dengan mencarinya jika tidak mem-punyai tanggungan anak dan isteri. la percaya pada janji Alloh dan ber-pegang teguh pada kesempurnaan, kemurahan dan rahmat-Nya. Karena Alloh sesungguhnya telah menjamin dan mewajibkan atas Dzat-Nya dalam masalah rizki makhluk-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Alloh lah yang memberikan rizkinya.” (QS. Hud: 6)
Tawakkal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup pintu pada malam hari dan berobat bila sakit. Tangan tidak mengambil makanan padahal lapar, ingin punya anak tidak kawin dan menggauli isterinya atau ingin memetik tanpa lebih dahulu menanam, adalah tindakan bodoh, karena sebab-akibat merupakan sunnatulloh yang tidak berubah.
Dapat disimpulkan, bahwa Tawakkal adalah sikap batin amalan qalbiyah yang diperintahkan oleh Alloh atas hamba-hamba-Nya.
Tujuan tawakkal adalah supaya hamba senantiasa dekat kepada Alloh dan taat kepada-Nya. Dalam rangka menuju makrifat dan wushul ilalloh supaya berusaha meningkatkan mutu dan peringkat tawakkal, menjalankan amaliah dengan sungguh-sungguh.
Hubungan tawakkal dan bekerja (berusaha) adalah; bekerja tidak mutlak berarti tidak tawakkal. Sebaliknya, tidak bekerja belum tentu ia bertawakkal. Bisa jadi ia tidak bekerja juga tidak tawakkal. Bertawakkal adalah kewajiban hamba, hak Alloh menjamin kecukupan rizki. Melaksanakan kewajiban tanpa menoleh hak adalah dianjurkan.
Dalam berusaha dan bekerja supaya dilakukan dengan baik dan benar. Yaitu jangan mengandalkan usaha dan kerjanya, hanya meng-andalkan Alloh SWT. Juga menyadari bahwa kemauan-kemauan dalam usaha dan bekerja adalah semata-mata atas ciptaan, pemberian dan pertolongan Alloh, kita tidak mempunyai kemampuan apa-apa.

Sumber : [disini]

" Tentang Allah "

Suatu hari Raja Muzaffar yang masih kanak-kanak bertanya kepada bondanya tentang Allah.
“Bunda.. Dimana Allah dan bolehkah anakanda melihatNya?”
“Oh.. Allah itu di Arasy wahai anakanda dan anakanda tidak dapat melihatNya kerana Allah berada nun jauh diatas 7 petala langit. Sedangkan langit kedua pun manusia tidak nampak bagaimana hal keadaan zatnya lantas bagaimana mungkin anakanda akan dapat melihat Allah yang berada di Arasy yang terletak lebih atas dan jauh daripada 7 petala langit?”
“Oh begitu… Bagaimana dengan dalilnya bonda?”
“Dalilnya begini.. “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan”.. dari surah Yunus ayat ke 3.”
Maka giranglah hati Raja Muzaffar kerana telah mendapat jawapan daripada persoalan yang selama ini sentiasa semak difikirannya. Masa pun berlalu.. hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, maka telah remajalah Raja Muzaffar. Suatu hari Raja Muzaffar diperintahkan ayahandanya supaya belajar ilmu-ilmu agama dari Syeikh Abdullah selaku Mufti di negeri ayahandanya itu. Maka tidak sabar-sabarnya lagi Raja Muzaffar mahu berguru dengan Syeikh Abdullah sementelah pelajaran agama adalah yang paling diminatinya.
Suatu hari sambil duduk-duduk santai dengan Syeikh Abdullah tiba-tiba Raja Muzaffar ditanyai Syeikh Abdullah dengan 2 persoalan yang tidak asing baginya.
“Wahai anakanda Putera Raja.. Dimana Allah dan bolehkah anakanda Putera Raja melihatNya?”
Sambil tersenyum Raja Muzaffar menjawab sebagaimana yang telah diajarkan bondanya dahulu.
“Allah itu di Arasy wahai Syeikh Guru dan beta tidak boleh melihatNya kerana Allah berada nun jauh diatas 7 petala langit.”
Tersenyum kecil Syeikh Abdullah mendengar jawapan muridnya itu dan sejenak selepas menghela nafasnya Syeikh Abdullah lalu bersuara..
“Begini anakanda Putera Raja… Allah itu bukannya makhluk seperti kita lantaran itu Allah tidak seperti kita. Apa sahaja hukum yang terjadi pada makhluk tidak berlaku seperti itu atas Allah. Oleh itu Allah tidak bertempat kerana bertempat itu hukum bagi makhluk.”
“Lantas dimana Allah itu wahai Syeikh Guru?”
“Allah itu tidak bertempat kerana Dia bersifat qiammuhu binafsihi yang bermaksud Allah tidak berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati. Jika kita mengatakan Allah berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati maka ketika itu kita telah menyerupakan Allah dengan keadaan makhluk. Ketahuilah, Allah tidak serupa dengan makhluk berdasarkan kepada dalil dari surah asy-Syuura ayat 11 yang bermaksud “Dia tidak menyerupai segala sesuatu.” Allah tidak berdiam di Arasy kerana Arasy itu adalah makhluk. Bagaimana mungkin makhluk dapat menanggung zat Allah sedang bukit dihadapan Nabi Musa pun hancur kerana tidak dapat menanggung pentajalian Allah.”
Raja Muzaffar mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham. Kemudian Syeikh Abdullah menambah..
“Berkenaan tentang anakanda Putera Raja tidak boleh melihat Allah itu adalah betul namun bukanlah kerana Allah itu jauh maka anakanda Putera Raja tidak boleh melihatNya.”
“Jika bukan begitu lantas bagaimana Syeikh Guru?” Tanya Raja Muzaffar beria-ia ingin tahu.
“Sebenarnya kita tidak dapat melihat Allah bukanlah kerana faktor jarak tetapi kerana keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia yang tidak mampu melihat zatNya. Ini bersesuai dengan firman Allah yang bermaksud “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”.. dari surah al-An’am ayat 103.”
Terdiam Raja Muzaffar mendengar hujah gurunya itu. Barulah beliau sedar bahawa apa yang menjadi pegangannya selama hari ini adalah salah. Pegangan yang mengatakan bahawa Allah itu di Arasy dan Allah tidak boleh dilihat kerana faktor jarak adalah satu kesilapan. Huraian daripada gurunya melalui ilmu Kalam membuatkan Raja Muzaffar begitu kagum dengan kekuasaan akal yang dapat menghuraikan segala-galanya tentang Tuhan. Bermula dari hari itu Raja Muzaffar berpegang dengan hujah gurunya bahawa Allah itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh melihat Allah kerana keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia. Akhirnya dengan berkat ketekunan dan kesungguhan, Raja Muzaffar telah berjaya menguasai ilmu-ilmu ketuhanan menurut peraturan ilmu Kalam sebagaimana yang diajarkan oleh Syeikh Abdullah hingga mahir.
Masa terus berjalan dan kini Raja Muzaffar telah dewasa. Oleh kerana begitu minatnya yang mendalam tentang ilmu-ilmu ketuhanan maka beliau meminta izin daripada ayahandanya untuk menperdalamkan lagi ilmu pengetahuannya dengan belajar dari guru-guru yang berada diluar istana sementelah Syeikh Abdullah telah meninggal dunia. Ayahandanya memberi izin lalu tanpa berlengah Raja Muzaffar menemui sahabat-sahabat sealiran almarhum Syeikh Gurunya untuk melanjutkan pelajaran.
Raja Muzaffar mempunyai sikap yang pelik. Saban hari apabila beliau melalui pekan-pekan kecil untuk sampai ke rumah guru-gurunya, beliau akan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya dengan soalan yang pernah ditanya kepada bondanya iaitu dimana Allah dan bolehkah manusia melihatNya?. Bagi sesiapa yang menjawab soalannya itu sebagaimana yang pernah dijawab oleh bondanya maka beliau akan membetulkan kefahaman orang itu dengan hujah almarhum gurunya Syeikh Abdullah. Jika orang itu tidak mahu tunduk dengan hujahnya maka orang itu akan dipukulnya sebelum diusir dari negerinya itu. Begitulah sikap Raja Muzaffar setiap hari sehingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang tua yang sedang bertungkus-lumus menyediakan air minuman untuk diberi minum kepada orang yang lalu-lalang disebuah pekan tanpa mengambil sebarang upah. Melihat kelakuan pelik orang tua itu lantas Raja Muzaffar mendekatinya.
“Hei orang tua.. mengapa kamu tidak mengambil upah atas usahamu itu?”
Tanya Raja Muzaffar tegas. Orang tua yang sedari tadi begitu khusyuk mengagih-agihkan minumannya itu terkejut dengan pertanyaan Raja Muzaffar lalu meminta Raja Muzaffar memperkenalkan dirinya.
“Siapakah tuan ini?” Tanya si Tua.
“Beta adalah Putera Raja negeri ini!” Jawab Raja Muzaffar tegas.
“Oh kalau begitu tuan ini tentu Raja Muzaffar yang terkenal dengan ketinggian ilmu ketuhanan itu. Tapi sayang, tuan hanya tahu ilmu tentang Allah tetapi tuan sendiri belum mengenal Allah. Jika tuan telah mengenal Allah sudah pasti tuan tidak akan bertanya kepada saya soalan tuan tadi.”
Terkebil-kebil mata Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Hatinya terpesona dengan ungkapan ‘mengenal Allah’ yang diucapkan orang tua itu. Lantas beliau bertanya kepada orang tua itu.
“Kemudian apa bezanya antara ‘tahu’ dengan ‘kenal’?”
Dengan tenang si Tua itu menjawab..
“Ibarat seseorang yang datang kepada tuan lantas menceritakan kepada tuan tentang ciri-ciri buah nangka tanpa menunjukkan zat buah nangka, maka ini mertabat ‘tahu’ kerana ianya hanya sekadar maklumat dan orang yang berada pada mertabat ini mungkin akan menyangka bahawa buah cempedak itu adalah nangka kerana ciri-cirinya seakan sama. Berbanding seseorang yang datang kepada tuan lantas menghulurkan sebiji buah nangka, maka ini mertabat ‘kenal’ kerana zatnya terus dapat ditangkap dengan penglihatan mata dan orang yang berada pada mertabat ini pasti dapat mengenal mana cempedak dan mana nangka dengan tepat.”
Raja Muzaffar mendengar dengan teliti huraian si Tua itu. Diam-diam, hatinya membenarkan apa yang diperkatakan si Tua itu. Kemudian terlintas dihatinya untuk bertanyakan soalan yang lazim ditanyanya kepada orang ramai.
“Kalau begitu wahai orang tua silalah jawab persoalan beta ini.. Dimana Allah dan bolehkah manusia melihatNya?”
“Allah berada dimana-mana sahaja dan manusia boleh melihatNya.” Jawab si Tua dengan tenang.
Tercengang Raja Muzaffar mendengar jawapan orang tua itu. Seketika kemudian terus saja orang tua itu dipukulnya sehingga jatuh tersungkur. Melihat orang tua itu tidak cuba mengelak pukulannya bahkan langsung tidak menunjukkan reaksi takut maka Raja Muzaffar pun lantas bertanya..
“Kenapa kamu tidak mengelak pukulan beta wahai orang tua?”
“Bukankah tadi sudah saya bilang.. tuan ini hanya orang yang tahu tentang Allah tetapi bukannya orang yang benar-benar mengenal Allah.”
Terdiam Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Kemudian beliau menenangkan dirinya lantas bersegera duduk diatas tanah dihadapan orang tua itu.
“Baiklah orang tua. Silalah huraikan jawapan kamu tadi sebab beta berpegang bahawa Allah itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh melihat Allah.”
“Allah itu tidak bertempat adalah menurut pandangan hukum akal sahaja sedang pada hakikatnya tidak begitu.” Ujar orang tua itu sambil mengesat bucu bibirnya yang berdarah. Kemudian beliau menyambung..
“Bukankah Allah itu wujudNya esa?”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.
“Jika Allah itu wujudNya esa maka sudah barang tentu tidak ada wujud sesuatu bersertaNya.”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.
“Lantas bagaimanakah kedudukan wujud alam ini jika Allah itu diyakini wujud tanpa ada selain zat yang wujud bersertaNya dengan pandangan mata hati?”
Raja Muzaffar memejamkan matanya rapat-rapat lantas dikerahkan pandangan mata hatinya untuk memahami persoalan yang ditanyai orang tua itu. Tiba-tiba akalnya dapat menangkap dan memahami hakikat alam ini jika ianya merujuk kepada ruang lingkup keesaan wujud Allah. Lantas beliau membuat satu kesimpulan..
“Jika dipandang dari sudut esanya wujud Allah maka alam ini tidak lain melainkan diriNya sendiri… Tiba-tiba sahaja perkataan itu terpacul keluar dari bibirnya. Terkebil-kebil matanya apabila mendengar ucapannya sendiri. Maka lidahnya kelu dan akalnya lumpuh. Terkejut. Tergamam. Terbungkam.
“Jadi kalau begitu ketika tuan memandang alam ini, siapa yang tuan pandang pada hakikatnya?” Pantas soalan itu diajukan kepada Raja Muzaffar.
“Pada hakikatnya beta memandang Allah!”
“Nah kalau begitu bukankah Allah ada berfirman yang bermaksud “Dimana sahaja kamu menghadap, disitulah wajah Allah” dari surah al Baqarah ayat 115 dan dalam surah al Hadiid ayat 3 yang bermaksud “Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin.”
Kemudian orang tua itu bertanya lagi..
“Dan sekarang dapat atau tidak tuan melihat Allah ketika ini”
“Ya.. beta menyaksikan dengan ainul basyiroh.”
Perlahan-lahan berjujuran air mata dari bucu mata Raja Muzaffar. Beliau menahan sebak kerana sekarang beliau sudah faham kenapa orang tua itu tidak mengambil upah atas usahanya dan tidak mengelak ketika dipukul. Semuanya kerana yang dipandangnya adalah pentajallian Allah. Dalam hati perlahan-lahan beliau berkata.. “Memang benar sesungguhnya pada sudut ini, Allah berada dimana-mana sahaja dan manusia boleh melihat Allah.”
“Makanya wahai Putera Raja.. inilah yang dinamai sebagai ilmu hakikat.”
Semenjak hari itu, Raja Muzaffar terus mendampingi orang tua itu untuk mempelajari lebih dalam selok-belok ilmu hakikat hingga diangkat beliau oleh gurunya menduduki kedudukan Syeikh ilmu hakikat. Demi mempraktikkan ilmu-ilmu hakikat yang halus, Raja Muzaffar telah menjadi seorang ahli ibadah yang alim. Beliau tidak lagi berpegang dengan fahaman almarhum gurunya iaitu Syeikh Abdullah kerana baginya jalan yang boleh membuatkan seseorang itu dapat mengenal Allah dengan haqqul yaqin ialah dengan ilmu hakikat. Beliau telah mengenepikan duduk didalam peraturan hukum akal sama sekali dan mulai duduk didalam peraturan musyahadah. Bagi beliau, ilmu Kalam yang dituntutnya selama ini adalah semata-mata salah.
Setelah kemangkatan ayahandanya maka Raja Muzaffar ditabalkan menjadi sultan dinegerinya dan sekarang beliau menyandang gelaran Sultan Muzaffar Syah pada usia 50 tahun. Beliau memerintah negerinya dengan adil dan saksama namun sikap peliknya yang dahulu masih diteruskannya. Dimana sahaja beliau pergi beliau tetap akan bertanyakan soalannya yang lazim itu. Jika orang yang ditanya tidak dapat menjawab maka akan diajarkan jawabannya menurut ilmu hakikat dan jika orang itu membangkang akan dihukum bunuh. Akhirnya kelaziman Sultan Muzaffar Syah ini membuatkan seluruh rakyat jelatanya menganut fahaman hakikat. Justeru itu rakyat jelata dinegerinya hidup aman dan makmur.
Suatu petang Sultan Muzaffar Syah yang terkenal sebagai Mursyid ilmu hakikat itu berjalan-jalan disebuah padang rumput yang luas dengan ditemani para pembesar istana. Pandangannya tertarik pada gelagat seorang pemuda pengembala kambing dalam lingkungan usia 30an yang sedang berusaha menghalau seekor serigala yang cuba memakan kambing gembalaannya. Baginda mendatangi pemuda gembala itu. Kelihatan pemuda itu hanya memakai pakaian yang diperbuat daripada guni dan tidak mempunyai kasut sebagai alas kaki. Rambutnya kering berdebu, bibirnya kering dan badannya kurus.
“Wahai pemuda.. kenapa kamu menghalau serigala itu dari memakan kambing itu, tidakkah kamu menyaksikan hakikat serigala itu? Maka biarkan sahaja Allah bertindak menurut kemahuanNya.”
Mendengar kata-kata Sultan Muzaffar Syah itu sekonyong-konyong pemuda gembala itu menggenggam pasir lantas dilemparkannya pasir itu ke muka Sultan Muzaffar Syah. Kemudian pemuda gembala itu membongkok untuk mengambil segenggam pasir lagi lalu dilemparkan lagi ke muka Sultan Muzaffar Syah. Sultan Muzaffar Syah hanya tercegat sahaja mungkin terkejut dengan tindakkan pemuda gembala itu. Pemuda gembala itu terus mahu mengambil segenggam pasir lagi dan melihat itu seorang pembesar istana yang berada disitu terus memukul pemuda gembala itu hingga beliau pengsan.
Apabila sedar dari pengsan, pemuda gembala itu mendapati tangan dan lehernya telah dipasung dengan pasungan kayu didalam sebuah penjara. Tidak lama kemudian datang dua orang pengawal istana dengan kasar merenggut badannya dan membawanya ke suatu tempat yang amat asing baginya. Tidak lama berjalan akhirnya mereka sampai dihadapan singgahsana Sultan Muzaffar Syah.
“Mengapa kamu melempari muka beta dengan pasir?” Tenang sahaja pertanyaan Sultan Muzaffar Syah.
“Kerana tuanku mengatakan bahawa serigala itu adalah Allah yakni Tuhan saya.”
“Bukankah hakikat serigala itu sememangnya begitu?” Tanya Sultan Muzaffar Syah hairan.
“Nampaknya dakwaan yang mengatakan bahawa tuanku ini adalah seorang yang mengenal Allah adalah bohong semata-mata.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”
“Sebab orang yang sudah sempurna mengenal Allah pasti merindui untuk ‘menemui’ Allah.”
Setelah 30 tahun baru hari ini hati Sultan Muzaffar Syah terpesona lagi apabila mendengar ungkapan ‘menemui Allah’ yang diucapkan oleh pemuda gembala itu. Dahulu hatinya pernah terpesona dengan ungkapan ‘mengenal Allah’. Sejurus itu juga Sultan Muzaffar Syah memerintahkan agar pasung kayu yang dikenakan pada pemuda gembala itu ditanggalkan.
“Lantas apa utamanya ‘bertemu’ berbanding ‘kenal’?”
Tanya Sutan Muzaffar Syah.
“Adakah tuanku mengenali sifat-sifat Rasulullah?”
Tanya pemuda gembala itu tiba-tiba..
“Ya, beta kenal akan sifat-sifat Rasulullah.”
“Lantas apa keinginan tuanku terhadap Rasulullah?”
“Semestinyalah beta mahu dan rindu untuk menemuinya kerana baginda adalah kekasih Allah!”
“Nah begitulah… Orang yang sempurna pengenalannya terhadap sesuatu pasti terbit rasa ingin bertemu dengan sesuatu yang telah dikenalinya itu dan bukannya hanya sekadar berputar-putar didaerah ‘mengenal’ semata-mata.”
Tiba-tiba sahaja Sultan Muzaffar Syah berteriak kuat dengan menyebut perkataan ‘Allahu Akbar’ sekuat-kuat hatinya lalu baginda jatuh pengsan. Tidak lama kemudian setelah wajahnya disapukan dengan air sejuk maka baginda kembali sedar. Sultan Muzaffar Syah terus menangis teresak-esak hingga jubahnya dibasahi dengan air matanya. Baginda memuhassabah dirinya.. “Memang.. memang selama ini beta mengenali Allah melalui ilmu hakikat tetapi tidak pernah hadir walau sekelumit rasa untuk bertemu denganNya. Rupa-rupanya ilmu hakikat yang beta pegangi selama ini juga salah sepertimana ilmu bonda dan ilmu Syeikh Abdullah”.. bisik hatinya. Kemudian terlintas difikiran Sultan Muzaffar Syah untuk menanyakan soalan lazimnya kepada pemuda gembala itu.
“Kalau begitu wahai orang muda, silalah jawab persoalan beta ini.. Dimana Allah?”
Dengan tenang pemuda gembala itu menjawab..
“Allah berada dimana Dia berada sekarang.”
“Kalau begitu, dimana Allah sekarang?
“Sekarang Allah berada dimana Dia berada dahulu.”
“Dimana Allah berada dahulu dan sekarang?”
“Dahulu dan sekarang Dia berada ditempat yang hanya Dia sahaja yang ketahui.”
“Dimana tempat itu?”
“Didalam pengetahuan ilmu Allah.”
Sultan Muzaffar Syah terdiam sebentar sambil keningnya berkerut memikirkan jawapan yang diberi pemuda gembala itu. Kemudian baginda meneruskan pertanyaannya lagi.
“Bolehkah manusia melihat Allah?”
“Kunhi zatNya tidak boleh dicapai dengan pandangan mata kepala dan pandangan hati.”
“Sila perjelaskan lagi wahai anak muda.” Pinta Sultan Muzaffar Syah.
“Begini tuanku.. adapun jawapan yang diberikan oleh bonda tuanku itu diatas soalan lazim yang tuanku berikan itu adalah sebenarnya betul menurut tahapan akal tuanku yang ketika itu dinilai masih kanak-kanak. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Abdullah itu juga betul jika dinilai dari sudut hukum akal. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Tua itu juga betul jika dinilai dari sudut pengamalan musyahadah terhadap ilmu Hakikat. Begitu jugalah dengan jawapan yang saya berikan juga betul jika dinilai dari sudut ilmu Ma’rifat. Tiada yang salah cuma ilmu itu bertahap-tahap dan tuanku telah pun melalui tahapan-tahapan itu. Dari tahapan jahil (ilmu bonda) ke tahapan awam (ilmu Kalam) kemudian ke tahapan khusus (ilmu Hakikat) dan akhir sekali ke tahap khawasul khawas (ilmu Ma’rifat).”
Kemudian pemuda gembala itu terus menyambung kata-katanya..
“Jika ilmu Hakikat itu jalan fana kerana menilik kepada zat Allah maka ilmu Ma’rifat pula jalan baqo’ kerana menilik terus kepada Kunhi zat Allah. Maka jawapan bagi persoalan tuanku itu secara yang dapat saya simpulkan ialah Tiada yang tahu dimana Allah melainkan Allah dan tiada sesiapa yang dapat melihat Allah melainkan diriNya sendiri.”
Sultan Muzaffar Syah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham.
“Jadi bagaimana hendak sampai ke tahap mengenal Allah dengan sempurna sehingga terbit rasa ingin untuk menemuiNya?”
“Jangan mengenal Allah dengan akal sebaliknya mengenal Allah dengan Allah.”
“Kemudian, apakah cara-caranya untuk dapat bertemu dengan Allah?”
“Sebagaimana firman Allah yang bermaksud “.. Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amalan soleh dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadat kepadanya”.. dari surah al Kahfi ayat 110.”
Mendengar penjelasan daripada pemuda gembala itu hati Sultan Muzaffar Syah menjadi tenang dan akhirnya baginda diterima menjadi murid si pemuda gembala itu. Kerana kesungguhan yang luarbiasa dalam menuntut ilmu Ma’rifat maka baginda mahsyur terkenal sebagai seorang sultan yang arifbillah lagi zuhud dan warak. Kemudian rakyatnya dibiarkan bebas untuk berpegang pada mana-mana fahaman pun asalkan ajarannya masih didalam ruang lingkup yang mengikuti pegangan Ahlussunnah wal Jamaah. Dan sekarang pada usia 70 tahun barulah Sultan Muzaffar Syah sedar dan faham bahawa untuk memahami tentang Allah maka seseorang itu harus melalui tahapan-tahapan yang tertentu sebelum seseorang itu layak dinobatkan sebagai arifbillah. Baginya samada ilmu Kalam, ilmu Hakikat atau ilmu Ma’rifat maka kesemuanya adalah sama penting untuk dipelajari bagi mewujudkan kesempurnaan untuk mencapai kedudukan Insan Kamil yang Ma’rifatullah.
Kini Sultan Muzaffar Syah sudah memahami bagaimana rasanya rindu kepada Allah dan bagaimana rasanya benar-benar tidak sabar untuk bertemu Allah. Sejak semalam mulutnya tidak henti-henti asyik mengucapkan kalimah Allah..Allah..Allah dan kadang-kadang terlihat deruan air mata jernih mengalir perlahan dipipinya sewaktu dipembaringan. Perlahan-lahan pemuda gembala menghampiri Sultan Muzaffar Syah yang sejak 20 tahun lalu tinggal bersama dengannya dirumah usangnya lantas meletakkan kepala muridnya itu diribaan silanya dengan linangan air mata. Kini nafasnya mulai tersekat-sekat dan melihat itu, pemuda gembala merapatkan bibirnya ke telinga Sultan Muzaffar Syah lantas mentalqinkan baginda dengan dua kalimah syahadah seraya diikuti baginda dengan senyuman. Sejurus kemudian Sultan muzaffar Syah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suasana hening… pemuda gembala menunduk sahaja dan sebentar kemudian dia berkata..
“Wahai alangkah beruntungnya.. sekarang tuanku benar-benar telah menemui Allah dan dapat mengenalNya dengan sebenar-benar kenal. Wahai Allah, masih belum layakkah untuk aku bertemu denganMu.. aku mencemburui Sultan Muzaffar Syah ini maka jemputlah aku menghadapMu Ya Allah…”. Sebentar kemudian pemuda gembala itu pun turut rebah dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suasana kembali hening………

Sumber : [Klik di Sini]
Share