Selamat Datang

"Dunia adalah ladang untuk kampung akhirat"

Himbauan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Tulisan dalam blog ini boleh dicopy-kan dan disebarkan, karena tulisan ini sebenarnya juga diambil dari banyak sumber yang terdapat di dunia Maya dan beberapa tulisan penulis sendiri. selama niatnya untuk mengajak kepada yang ma'ruf dan menolak segala kejahatan maka selama itu pula pahala bagi orang-orang yang menyebarkannya.

"Fastabiqul Khairat"

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
(al-Imran 3:104)

Rabu, 19 Oktober 2011

"KAGUM DIRI"

Kagum diri dapat berakibat buruk, diantara dampak buruk tersebut adalah terjerumus ke dalam sikap ghurur (terperdaya) dan takabur. Sikap ghurur yaitu sikap meremehkan orang sedangkan takabur adalah sikap seseorang yang merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain dan tidak mau menghormati orang lain. Dampak buruk dari kagum diri selain bersikap
ghurur dan takabur yaitu tidak mendapatkan taufik dari Allah swt. Dia tidak mendapatkan taufik dari Allah swt karena ketentuan Allah swt bahwa orang yang mendapatkan taufik adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah swt dan tidak memberikan bagian sedikitpun kepada setan di dalam hatinya. Dampak buruk lainnya yaitu orang yang kagum diri akan dibenci orang lain. Orang yang kagum diri akan dibenci Allah swt. Orang yang dibenci Allah akan dibenci penduduk langit dan bumi.
***
Rasulullah saw bersabda, "Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Allah memanggil malaikat Jibril, lalu berfirman kepadanya, 'Aku mencintai si fulan, maka hendaknya engkau mencintainya.'  Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian malaikat Jibril menyerukan kepada para penduduk langit, 'Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka hendaknya engkau kalian mencintainya.' Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian hamba tersebut dicintai oleh penduduk bumi.
Apabila Allah membenci seorang hamba, maka Allah memanggil malaikat Jibril dan Dia berfirman, "Sesungguhnya Aku membenci, maka hendaknya engkau membencinya. Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyerukan kepada penduduk langit, 'Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka hendaknya kalian membencinya.' Maka penduduk langit pun membencinya. Kemudian dia dibenci oleh penduduk bumi." (HR Bukhari dan Muslim)
***
Seseorang yang terkena penyakit kagum diri dapat dilihat dari beberapa tanda yaitu selalu memuji diri. Orang tersebut selalu memuji dan mengagungkan diri sendiri. Pada saat yang sama, ia melupakan atau pura-pura lupa terhadap firman Allah swt, "Maka janganlah kamu
mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa." (QS an-Najm: 32) Orang yang kagum diri tidak mau menerima nasihat dari orang lain, bahkan membencinya dan merasa senang jika mengetahui aib orang lain.
***
Seorang Muslim yang terkena penyakit kagum diri harus segera bertobat dan berusaha untuk menyembukan dirinya dari penyakit hati tersebut. Cara-cara yang dapat dilakukan agar tidak terkena penyakit kagum diri, diantaranya yaitu selalu ingat hakikat diri. Orang yang kagum pada diri sendiri harus sadar bahwa nyawa merupakan anugerah Allah swt.
Jika nyawa tersebut meninggalkan badannya, maka badan tersebut tidak ada harganya sama sekali. Dia harus sadar bahwa tubuhnya dibuat dari tanah yang diinjak-injak oleh manusia dan binatang, kemudian dari air mani yang hina dan akhirnya kembali lagi menjadi tanah. Masa antara awal penciptaan dan kembali menjadi tanah tersebut, setiap manusia selalu membawa kotoran di perutnya, yang jika tidak dikeluarkan dapat berakibat orang tersebut merasa sakit.
Kesadaran diri ini, insya Allah akan membantu seseorang menghilangkan penyakit kagum pada diri sendiri. Sebagian ulama salaf jika merasa kagum diri akan bertanya kepada dirinya sendiri, "Apakah engkau tahu siapa saya?" Lalu dijawabnya sendiri, "Ya, saya tahu siapa engkau. Engkau hanyalah setetes air mani yang akan menjadi bangkai. Sedangkan sekarang engkau berada di antara keduanya sambil membawa kotoran di dalam perutmu."
***
Orang yang kagum diri harus sadar hakikat dunia dan akhirat. Orang yang kagum diri selalu sadar bahwa dunia tempat menanam (beramal) untuk kebahagiaan hidup di akhirat. Dia harus sadar bahwa sekalipun umurnya panjang, dia tetap akan mati dan harta yang dimilikinya selama hidup di dunia tidak akan dibawanya. Satu-satunya 'harta' yang dibawanya adalah amal yang dia dapatkan selama hidup di dunia.
Kesadaran semacam ini akan mendorong seseorang untuk terhindar dari penyakit kagum diri. Orang yang kagum diri harus selalu ingat pada nikmat Allah swt yang diberikan kepada manusia yang besar dann mencakup segala kehidupan manusia. Allah swt berfirman, "Dan jika kamu mau menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya (karena sangat banyaknya)." (QS Ibrahim: 34)
Kesadaran ini akan mendorong seseorang merasa lemah dan merasa butuh kepada Allah swt. Mereka yang terkena penyakit kagum diri hendaknya selalu mengingat kematian.

AL-GHADHAB (MARAH)
Hakikat marah menurut Islam ialah marah yang terpuji dan marah yang tercela. Kemarahan yang ditujukan untuk mempertahankan diri, agama, kehormatan, harta kekayaan atau untuk menolong orang yang dizalimi adalah terpuji.
Sesungguhnya Allah swt menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Allah swt berfirman, "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' ... " (QS al-Baqarah: 30)
***
Agar manusia dapat bangkit untuk melaksanakan tugas tersebut, maka Allah menciptakan manusia terdiri atas ruh, akal dan tubuh. Hikmah Allah menetapkan bahwa badan menjadi pelayan ruh. Agar badan berada dalam karakter yang membuatnya layak untuk melayani ruh selama manusia berada di muka bumi, maka Alah menciptakan dua kekuatan di dalam badan.
Pertama, kekuatan syahwatiah yang tugasnya ialah menarik segala yang berguna bagi tubuh dan yang memberinya santapan.
Kedua, kekuatan marah yang tugasnya ialah menolak segala sesuatu yang dapat memudaratkan badan dan membinasakannya.
***
Allah menciptakan anggota tubuh manusia ditujukan untuk melayani kekuatan syahwat dan kekuatan marah. Allah juga menciptakan akal yang dimaksudkan supaya berperan sebagai pemberi petunjuk dan nasihat kepada ruh bilamana kekuatan syahwat atau kekuatan marah cenderung kepada sesuatu hingga melampaui batas kesederhanaan. Pada saat itulah akal memberi nasihat atau petunjuk kepada ruh ihwal pentingnya mengambil sikap tegas terhadap kekuatan yang ekstrem agar manusia kembali kepada keseimbangan dan kesempurnaannya. Allah mengetahui bahwa kadang-kadang akal mengalami kesulitan saat memberikan nasihat dan petunjuk kepada ruh karena suatu sebab atau karena hal lain. Karena itu, Dia menurunkan sebuah manhaj kepada ruh yang tergambar dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya.
Manhaj ini akan menyinari jalan, menunjukkan kepada kebenaran dan memelihara keseimbangan dan kesempurnaan di antara unsur-unsur pembentuk manusia agar kepribadiannya tetap stabil, lurus, tidak bengkok dan tidak cacat. Dengan demikian, marah diciptakan dalam diri manusia agar dia dapat mempertahankan diri dan memelihara kehormatannya.
***
Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla memuji sahabat Rasulullah saw, bahwasanya mereka bersikap keras terhadap kaum kafir. Allah swt berfirman, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir ... " (QS al-Fath: 29)
Sikap keras terhadap kaum kafir tidak muncul kecuali dari rasa marah dan perlindungan diri. Mereka tidak marah terhadap apa yang diberitahukan oleh Allah swt tentang mereka kecuali marah karena Allah Ta'ala. Allah swt berfirman, "(Juga) bagi orang kafir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS al-Hasyr: 8-9)
Rasulullah saw bersabda, "Orang kuat bukanlah yang dapat mengalahkan musuh, namun orang kuat ialah yang dapat mengontrol dirinya ketika marah." (HR Bukhari dan Muslim)
Sumber : [Klik di Sini]

Peran Ma'rifat DaLam Mencapai Kesempurnaan Hidup

"Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar:9)

Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka.
Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: "Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun."

Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma'rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.

Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, " ..dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah .." (Q.S. Jum'ah : 2).

Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma'rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma'rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali.
Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma'rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara
lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat "Tidurnya orang alim adalah ibadah."

Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: "... supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya... "

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma'rifat.

Imam Abu Ja'far a.s. bersabda, "Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut) kita akan sesuai dengan kadar ma'rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam "Kitab Ali" (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma'rifat-nya" (Ma'ani al-Akhbar).

Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, ". Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu ." (Q.S. Al-Hujurat :
13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma'rifat.

Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma'rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu ma'rifat.

Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma'rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: "Aku ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui" (Bihar al-Anwar).

Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma'rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja'far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan kata "al-Ibadah" yang tercantum dalam ayat "Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, "Wahai para manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya
kecuali untuk mengenal (ber-ma'rifat) kepada-Nya" (Biharul Anwar).

Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma'rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang
tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.

Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama adalah mengenal-Nya." Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma'rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.

Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.

Sehubungan dengan ma'rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid
dalam masalah ini.

Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma'rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, "Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah
mengetahui-Mu sebagaimana mestinya."

Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s. pernah menegaskan, "Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal
diri-Nya" (Nahjul Balaghah).

Setiap ilmu dan ma'rifat, khususnya ma'rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang
meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang
bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil,
berbudi luhur maupun tercela.

Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya
sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.

Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid3 muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik penciptaan alam semesta ini,
termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, "Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?" (Q.S. Al-Mu'minun : 115)

Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia selama masa hidupnya di dunia.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.

Yang dimaksud dengan "manusia sempurna" adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari berbagai sifat yang harus
dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: "Berakhlaklah dengan akhlak Allah."

Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam
diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan ma'syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.

Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika ia
membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.

Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab
itu, perjalanan untuk liqa' (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.

Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal,
baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. bersabda, "Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan)." (Ushul al-Kafi)

Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.

Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, "Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.

Allamah Thabatha'i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa pertemuan ilmu --tentang jalan yang harus ditempuh-- dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya" (an-Naml:14)..

Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.

Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat semu di depan matanya dibanding maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa nafsunya, "Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." (Q.S. Al-furqan : 43).

Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya ma'rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi
diutusnya rasul, ".Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya .." (Q.S. Al-jum'ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesem-purnaan jiwa manusia.

Semoga Allah swt selalu memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dengan perantara Rasul dan keluarga suci beliau. Amin.
Sumber : [klik disini]

Jumat, 07 Oktober 2011

NeLayan dan Pengusaha

Seorang pengusaha tengah berdiri di tepi pantai dan memandang ke arah laut, ketika seorang nelayan merapatkan perahunya.
“Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk menangkap ikan sebanyak ini?”, tanya pengusaha kepada nelayan.
“Tidak lama, cukup 5 jam”, jawab nelayan.
“Mengapa tidak pergi lebih lama dan menangkap lebih banyak lagi?”
“Ini sudah cukup buat keluargaku.”
“Apa yang anda lalukan di luar waktu menangkap ikan?”
“Bermain dengan anak-anakku, tidur siang, makan siang bersama keluargaku, berjalan-jalan di desa, bermain gitar dan ngobrol dengan teman-temanku – hidup yang begitu kunikmati.”
“Aku punya ide untuk membantumu”, ujar si pengusaha.
“Aku lulusan master dari Harvard. Saranku, habiskan waktu lebih banyak untuk menangkap ikan, beli perahu yang lebih besar, dapatkan lebih banyak uang, beli lagi beberapa perahu”.
“Jangan jual ikan ke perantara, jual langsung ke pengolahan sampai anda memiliki pabrik sendiri. Kendalikan produk, distribusi dan produksinya”.
“Setelah itu, anda pindah ke kota besar, kemudian ke luar negeri untuk mengembangkan usaha ini.”
“Menarik. Tapi berapa lama waktu dibutuhkan supaya aku bisa seperti itu?”, tanya nelayan yang mulai tertarik.
“Lima belas tahun paling cepat. Dua puluh tahun paling lambat”, jawab si pengusaha.
“Setelah itu apa, Pak?”
“Inilah bagian yang paling menarik. Anda bisa menjual saham perusahaan di bursa dan menghasilkan uang miliaran.”
“Wah, miliaran ya. Lalu apa setelah itu Pak?”
“Lalu anda bisa istirahat dan pulang ke rumah. Pindah ke desa kecil di tepi laut, memancing, bermain dengan anak-anak, tidur siang, makan bersama istri, berjalan-jalan di desa, main gitar serta ngobrol dengan teman-teman dekat”, jawabnya
“bukankah itu yang sudah saya lakukan sekarang, kenapa mesti menunggu 15-20 tahun?”
Nelayan itu berlalu meninggalkan pengusaha sambil tersenyum.

Minggu, 25 September 2011

HATI DALAM KEGELAPAN

Pernah ada satu kisah seorang gadis yang membenci dirinya sendiri bahkan semua orang yang disekelilingnya dia benci, kecuali kekasihnya yang selalu setia menemani dan memberikan dorongan semangat untuk hidup. Sebenarnya gadis itu cantik kekurangan yang ada dirinya cuman satu karena kedua matanya tidak bisa melihat. Dalam keseharian dirinya selalu meratapi hidupnya.
Namun gadis itu sangatlah beruntung memiliki pujaan hati yang cukup sabar mendengar segala keluh kesahnya bahkan mampu menghibur dan membuatnya tersenyum. Kecintaan pada gadis itu bahkan dibuktinya dengan melamar tetapi sang gadis rela dinikahi bila sudah dapat melihat dengan sempurna.
Doa gadis itu akhirnya terkabul. Ada seseorang yang bersedia mendonorkan matanya. Betapa bahagia dirinya begitu menyaksikan dunia baru yang indah dan penuh warna. Kekasihnya juga ikut bahagia merasakan kegembiraan. Dia segera menagih janji gadis itu.
‘Sekarang dirimu sudah bisa melihat dunia, Apakah kamu mau menikah denganku?’ tanya sang kekasihnya.
Gadis itu terguncang disaat melihat kekasihnya ternyata buta. Gadis itu kecewa dan menolak untuk menikah dengan pujaan hatinya yang buta. Sang kekasihnya dengan air mata yang mengalir, hatinya bagai tertusuk sembilu kemudian meninggalkan pesan disecarik kertas.
‘Kekasihku, tolong jaga baik-baik mataku!’
Pesan kisah diatas memperlihatkan bahwa disaat status sosial kita berubah menjadi lebih baik seringkali berubah pula gaya hidup kita, hanya sedikit orang yang ingat akan kehidupan sebelumnya dan lebih sedikit lagi yang ingat siapa sebenarnya sahabat sejatinya. Sahabat yang telah menemaninya dalam suka maupun duka, dalam tangis dan tawa, begitu sudah menjadi orang sukses, kita mudah sekali melupakan sahabat sejati yang telah menemani dalam perjalanan hidup kita.
mudah-mudahan pesan kisah di atas menjadi pengingat kita, terutama penulis, untuk selalu mengingat siapa sebenarnya kita, untuk selalu mengingat teman-teman, sahabat sejati kita yang selalu ada baik dalam suka maupun duka. untuk selalu mengingat sang pemberi kenikmatan, Allah azza wa jalla. Semoga kita selalu menjadi orang yang pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan. aamiin.

WAKTU SHUBUH

Saya yakin di antara kita sudah mengetahui keistimewaan waktu Subuh. Hari ini ada baiknya kita melihat waktu Subuh dengan kacamata yang lain, yaitu dari bahaya waktu Subuh bila kita tidak dapat memanfaatkannya.
Allah bersumpah dalam Al Fajr : “Demi fajar (waktu Subuh)”. Kemudian dalam Al Falaq Allah mengingatkan: “Katakanlah! aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh”.
Ada apa dibalik waktu Subuh? Mengapa Allah bersumpah demi waktu Subuh? Mengapa harus berlindung kepada yang menguasai waktu Subuh? Apakah waktu Subuh sangat berbahaya?
Ya, ternyata waktu Subuh benar-benar sangat berbahaya!
Waktu Subuh lebih kejam dari sekawanan perampok bersenjata api.
Waktu Subuh lebih menyengsarakan dari derita kemiskinan.
Waktu Subuh lebih berbahaya dari kobaran api yang disiram bensin…
Jika ada sekawanan perampok menyatroni rumah anda, dan mengambil paksa semua barang anda. Emas dan semua perhiasan di gondolnya. Uang cash puluhan juta ditilepnya. Laptop, yang berisi data-data penting anda juga diembatnya. Eh, mobil yang belum lunas juga digasaknya. Bagaimana rasa pedih hati anda menerima kenyataan ini?
Ketahuilah, bahwa waktu Subuh lebih kejam dari perampok itu. Karena jika anda tertindas sang waktu Subuh sampai melalaikan shalat fajar, maka anda akan menderita kerugian lebih besar dari sekedar laptop dan mobil. Anda kehilangan dunia dan segala isinya. Ingat, “Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya” (HR Muslim).
Waktu Subuh juga lebih menyengsarakan dari sekedar kemiskinan dunia. Karena bagi orang-orang yang tergilas waktu Subuh hingga mengabaikan shalat Subuh berjamaah di masjid, maka hakikatnya, merekalah orang-orang miskin sejati yang hanya mendapatkan upah 1/150 (0,7%) saja pahala shalatnya.
“…dan barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka ia bagaikan shalat semalam suntuk” (HR Muslim). Shalat semalam suntuk adalah shalat yang dikerjakan mulai dari tenggelamnya matahari sampai terbit fajar. Fantastis! Shalat selama sepuluh jam…, atau kurang lebih 150 kali shalat! Betapa agung fadilah shalat Subuh berjamaah ini. Betapa malangnya orang yang tergilas waktu Subuh, orang-orang yang mengabaikan shalat subuh berjamaah di masjid.
Waktu Subuh juga lebih berbahaya dari kobaran api yang disiram bensin. Mengapa demikian? Tahukah anda bahwa nabi menyetarakan dengan orang munafik bagi yang tidak mampu melaksanakan shalat Subuh berjamaah?
“Sesungguhnya tiada yang dirasa berat oleh seorang munafik, kecuali melaksanakan shalat Isya dan shalat Subuh. Sekiranya mereka tahu akan keagungan pahalanya, niscaya mereka bakal mendatanginya (ke masjid, shalat berjamaah) sekalipun harus berjalan merangkak-rangkak” (HR Bukhari Muslim).
Orang yang tergerus waktu Subuh hingga tak mampu mendatangi masjid untuk shalat berjamaah adalah orang yang dalam keadaan bahaya, karena disetarakan dengan orang munafik. Padahal, ancaman bagi orang munafik adalah neraka Jahannam. “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” (An Nisa:140).
Bukankah Jahannam lebih berbahaya dari sekedar kobaran api yang disiram bensin?
Nah, agar tidak merasakan tindasan waktu Subuh yang lebih kejam dari perampokan, agar tidak terkena gilasan waktu Subuh yang lebih menyengsarakan dari derita kemiskinan, dan agar tidak tertelan gerusan waktu Subuh yang lebih berbahaya dari kobaran api, maka: “Katakanlah! aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai waktu subuh” (Al Falaq:1). Yaitu dengan memanfaatkan waktu Subuh sebaik-baiknya. Lakukan shalat sunnah (shalat fajar) dan shalat berjamaah di masjid.

Sumber : [sini]

Jumat, 24 Juni 2011

MENGETIK PASSWORD

Seluruh surah yang terkandung dalam Al Quran pasti diawali dengan bacaan basmalah. Bismillahirrahmanirrahiim adalah awal dari surah Al Fatihah yang juga disebut al-sab'ah Al Matsaani atau tujuh ayat yang dibaca berulang - ulang. Surat itu juga disebut ummul Quran, ibu atau induknya Quran, yang menaungi segala firman Allah. Kenapa sih setiap orang yang akan mengawali membaca surat atau ayat Quran kok harus mengucap basmalah yang berarti "dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" ? Kenapa kok tidak menyebut asma Allah dengan sifat yang lainnya misalnya dengan nama Allah yang Maha Menghukum (Al Hakim ) dan Maha Cerdas ( Al Alim ) ?

Seperti yang disebutkan dalam hadits Qudsi ternyata sifat rahman rahim itu larinya lebih cepat daripada sifat menyiksaNya. Sifat itu mampu melebur siksa yang tengah dipersiapkan. Sifat itu bahkan melebihi sifat welas asih seorang ibu yang tetap mau menyusui sang anak walaupun si anak durhaka bin bajingan. Inilah mengapa disebut ummul Quran bukan abul Quran karena realitasnya keperkasaan sang bapak masih tak mampu menandingi keluasan kasih ibu. Bayangkan bila disebut bapaknya Quran pasti bacaan basmalah mensifati kegagahan dan kepandaian tanpa ada rasa sayang yang mendahului dan membasahi jiwa. Beragama pun jadi garing sekali.

Lha wong disuruh mengucap basmalah saja dalam mengamalkan Quran kadang kita masih lebih suka mengandalkan kegagahan dan kepandaian daripada sifat welas asih. Mulut membaca basmalah tapi prakteknya selalu ingin mengandalkan kepandaian, kegagahan, kewibawaan bahkan menjurus menghancurkan baik fisik, intelektual atau pun spiritual seseorang yang tak seide. Mungkin ini sebabnya disebut Al Sab'ah Al Matsani agar setiap muslim selalu membaca berulang -ulang sampai tertancap di dada merasuk menjadi aliran darah dan desah nafas keseharian. Sebab tanpa peneguhan yang berulang - ulang, sifat kasih sayang itu perlahan -lahan akan lenyap ditelan bumi. Kemudian tiba - tiba kita menjadi asing dengan sifat itu.

Jujur saja ketika agama tertentu mengangkat jargon "kasih" apa yang kita fikir dan rasakan? Kalau ada orang bilang ajaran kasih, secepat kilat kita memvonis itu ajaran nasrani atau budhism. Padahal kalau orang nasrani di Timur Tengah menyebut ajaran kasih pasti dengan ucapan dienul rahman sebab di sana nggak ada bahasa Indonesia. Jadi ajaran kasih itu ya ajaran rahman. Sama juga seperti ketika orang nasrani di Arab mengucapkan "Puji Tuhan" sama seperti mengucapkan "Alhamdulillah" sebab mereka nggak bisa bahasa Indonesia. Masalahnya kan cuma sadar apa nggak atas ucapan itu, kemudian yang dikatakan sadar itu arah kesadarannya tertuju kemana ? Ke realitas Tuhan yang tak terbatas, ke patung atau alam fikiran yang masih terkungkung ruang waktu ?

Bila kita terus bertahan dengan suatu yang sifatnya verbal ya jangan salahkan orang lain kalau suatu saat kita terkecoh bila ada orang fasih berbahasa Arab dan bergamis-surban eehh...ternyata Kristen Ortodoks Syiria dan atribut itu ternyata adalah akar budaya asli yang tidak dibuat -buat untuk sebuah kepentingan kristenisasi atau apalah namanya. Apakah ada hak kita untuk marah sebab Abu Jahal dan Abu Lahab juga fasih bahasa Arab dan bergamis surban ( emangnya Pak Abu Lahab dan Bung Abu Jahal itu pakai celana jeans dan dasi ya..? ).

Dienul Islam bukan hanya sekedar dibedakan dari kostum, tata bahasa dan dialeknya. Ayat yang terkandung dalam Al Quran adalah kalam yang memang diturunkan dalam bentuk bahasa atau tulisan dengan wujud materi agar manusia memahami. Tetapi bukan terhenti pada bahasa atau tulisan itu sendiri sebab kalam lebih dari itu. Contoh mudahnya, dengan bahasa apakah Allah mengambil kesaksian diri kita waktu masih di perut ibu ? ( Qs Al A'raf 172 ). Sebab dalam kandungan kita belum mengenal bahasa apapun.

Kalau toh keyakinan lain mempunyai ajaran kasih, biarkan saja....kita ini malah lengkap nggak sebatas kasih namun kasih bin sayang. Kasih itu masih bersifat memberi entah itu mengasih materi, memberi perlindungan, meridhoi atau mengikhlaskan sesuatu perbuatan. Sayang itu lebih bersifat memiliki dan mendekap. Siapa sih tidak bangga dimiliki orang lain. Kita akan senang ketika dimiliki oleh sebagian yang lain. Saya atau anda pasti senang bila ada yang memperhatikan dan merasa memiliki kita entah itu tetangga, saudara, sahabat, keluarga atau mantan pacar. Pendakwah pun lebih bersuka cita dan khotbahnya akan semakin berkobar -kobar karena ia merasa dimiliki oleh jutaan pengikut.
Bagaimana perasaan anda dan saya jika ternyata di balik semua itu masih jauh ada yang lebih duahsyaaat dan buessaarr... kita dimiliki Allah ! Kita didekapNya ! Suueennaang pol, lumayan senang, agak senang, biasa saja, atau tak terasa ? Ahh itu tergantung kemelekatan hidup ini pada Allah... silahkan jujur pada diri sendiri... Ataukah mungkin Allah saja masih kurang sehingga kita masih ngebut mencari kebahagiaan dengan ingin dimiliki ( ternyata bukan memiliki ) harta, gelar kekuasaan, cap intelektual, atau sanjungan umat. Bila itu jadi tujuan utama maka saksikan bahwa perasaan bahagia dari Allah itu perlahan akan lenyap tanpa bisa ditawar walaupun kita sedang mengalami kepuasan karena mendapat berbagai sanjungan manusia. Pertama kelenyapan itu hanya perdetik, kemudian permenit, perjam, berhari -hari, tak terasa akhirnya bertahun - tahun.

Hiruplah nafas dalam -dalam disertai membaca basmalah dengan ikhlas lalu buang semua angan kenikmatan selain Allah bersama hembusan kotoran karbon yang keluar dari mulut...teguhkan hasbunallah....

Basmalah yang telah menyublim dalam diri akan menjadi kunci pembuka jutaan makna yang terkandung di setiap huruf dan ayat Al Quran. Rahman rahim adalah ayat cinta dan ketundukan yang tak dapat dipisah. Hanya dengan cinta kita bisa membangunkan mereka yang tertidur dari mengenal Allah. Dengan ketundukan pula kita bisa menghargai perbedaan karena kita sadar yang berbeda itu sekedar pernik dunianya saja tetapi mahluk yang berbeda itu tetap milik Allah, ciptaan Allah. Please deh... jangan main -main dengan Ciptaan Allah...Teladanilah sifat Rasul ketika pamannya sendiri tidak mau bersyahadat....

Pengkhusyukan terhadap basmalah akan membuat dada seseorang dialiri berbagai pengetahuan langit dan bumi tanpa bersusah payah mencarinya. Persis seperti Cinderela yang mencintai sang pangeran. Ia hanya bermodal cinta dan merasa ingin dimiliki. apa yang terjadi ketika sang pangeran menyambut cintanya ? akses kerajaan, kekuasaan, para mentri dan pengawalnya pun rela di persembahkan untuk sang putri tercinta. Cinderela pun mendapatkan segalanya tanpa susah payah. Tinggal bilang, semua datang. Ahh itu kan hanya dongeng ! otak kita memprotes...tapi cobalah cobalah dan cobalah. Tinggalkan dulu otak kita yang protes ini barang dua tiga hari kemudian gantilah dengan rasa mencinta dan ingin dimiliki. Dijamin manjur bergaransi !

Apakah saya yang menjamin kok berani -beraninya pakai garansi segala ? Tidak! Allah sendiri yang telah menjamin seperti yang tertulis dalam Al Quran. Terlalu banyak untuk dituliskan ayat - ayat itu dalam tulisan ini karena sebenarnya setiap huruf, kata dan ayat Al Quran adalah mukjizat luar biasa di manapun kita mulai membukanya.

Tapi memang, membaca basmalah itu gampang - gampang susah persis seperti mengetik sebuah password ketika akan mengakses sebuah rahasia program. Salah sedikit saja pasti gagal. Saya sendiri sering gagal karena rata - rata keliru dalam kombinasi penggunaan huruf kecil dan huruf besar. Paling sering terjadi ketika menulis kata Otak huruf depannya keliru huruf besar sedangkan kata tuhan huruf depannya keliru huruf kecil....akhirnya yang keluar dari dada dan otak saya malah program mrengut dan methentheng....sholat itu pun akhirnya gagal maning....gagal maning.....dan nggak tahu kenapa setelah itu biasanya berkesinambungan mencari pembenaran dari luar diri, bantai sana bantai sini...biasalah...cari pelampiasan kegagalan diri...... kata pak Ustadz " Itu riya' ..!." Saya pun hanya bisa tersipu malu ..!!

wassalam, semoga bermanfaat

Sumber : {disini}

ETIKA ISLAM

Masalah kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya. Masalah moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia, "baik ideal maupun realita".
Secara ideal bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk pertama kalinya dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik dan buruk (QS. Assyams 7-8).
Secara realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, dimana individu merupakan bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula muncul dalam kesadarannya ialah pertanyaan "What must be?"(Apa yang seharusnya), yang lalu disusul dengan "What must I do?"(Apa yang dilakukan) pelaksanaan "What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must be?". Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan apriori. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif".
Di dalam hidupnya manusia dinilai! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai! Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut.
Pengertian yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat mambedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik buruk tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (QS. 91: 7-8)
Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, "atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan".
Imam Al Ghazali menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "awwali". Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam batin dari ilmu ma'rifat1).
Di sini, Al Ghazali mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian Ilahyah. Sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea" hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara menenangkan pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya "idea" bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan "ide".
Kesadaran tentang keberlangsungan ide yang sejak awal ruh ditiupkan, menyebabkan Allah dalam firman-firmanNya menghendaki manusia masuk pada posisi asasinya yang disebut "idul fitri", yaitu kembali kepada "kesejatian diri". Sebab kesejatian inilah yang bisa dipertanggung-jawabkan kebenaran sikapnya karena perilaku yang keluar bersandar pada kejernihan fitrah. Maka sesungguhnya fitrah itu sejalan dengan kehendak Allah (fitrah Allah), yang disebut dalam Al Qur'an:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS. Arrum: 30).
Pada dasarnya fitrah manusia itu suci, akan tetapi proses penerimaan ide (ilham) tersebut, terkadang menjadi tidak murni disebabkan kekotoran jiwa yang diliputi nafsu syahwat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu Dan merugilah orang yang mengotorinya." (QS Asysyams 7-8).
Betapa bahayanya ilham-ilham tersebut bila diterima oleh jiwa yang kotor, sebab pengetahuan-pengetahuan itu akan digunakan untuk bagaimana mencuri, korupsi, menipu dan merusak alam semesta. Tetapi alangkah indahnya jika ilham-ilham tersebut diterima oleh jiwa yang tenang dan bersih yang akan menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya maupun alam semesta. Maka dari sini dapat dimengerti, walau seseorang sudah memiliki pengertian "baik buruk secara apriori", bukan berarti ia telah tahu secara mutlak, namun pengertiannya masih bersifat relatif dan hal itu akan lebih jelas jika disinari oleh wahyu ketuhanan. Sebab ia tidak akan mampu menelusuri secara intelektual tanpa adanya "daya spiritual" dalam menerima ide yang sesuai dengan Fitrah Allah. Sebaliknya kalau dibiarkan jiwa kita diam, terbelenggu oleh keinginan syahwat, maka apa yang diperoleh oleh jiwa berupa ide ilmu pengetahuan akan digunakan sesuai dengan kepentingan syahwatnya.
Kembali kepada masalah "nilai". Seseorang pasti akan dinilai atau pasti akan melakukan sesuatu karena nilai, dan jika "nilai" masih bersifat relatif, maka nilai tersebut akan tergantung kepada dasar yang ia pakai. Bisa jadi, mencuri itu mendapat nilai kebajikan apabila perilaku tersebut didasari oleh hukum-hukum tentang permalingan, juga sekularisme, hedonisme, komunisme dan ateisme, dasar-dasar inilah yang akan menilai perilaku itu baik atau buruk.
Begitupun tata nilai ketuhanan (Islam), setiap "perilaku" Islam sangat menekankan orientasi niat yang kuat, menyandarkan peribadatannya didasari konsep "Lillahi ta'ala".
Pendasaran kepada setiap "laku" manusia, mengandung tuntutan kesadaran, bukan paksaan!! Perilaku seseorang tersebut baru bisa dikatakan mempunyai nilai. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi:
Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya (Hadist riwayat Bukhari Muslim).
Dalam hadist tersebut jelas, setiap perilaku mempunyai dasar (niat), sehingga perbuatannya dikategorikan baik atau buruk dimana ia menggantungkan niatnya.
Suatu riwayat, ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah "niat".
"Maka barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya". (Al Hadits)
Di sini sangat penting kesadaran akan "niat" untuk memperjelas perbedaan mana yang baik menurut nafsu, dan baik menurut Allah. Perilaku yang lalai atau tidak karena Allah seperti dalam shalat, maka nilai kelurusan shalat yang terhalang oleh pikiran yang tidak khusyu' akan berakibat pada rusaknya nilai ibadah shalat. Seperti yang termaktub alam Al Qur'an:
"Maka celakalah bagi yang melakukan shalat karena"niat"-nya (lalai) terhambat oleh ingin dilihat orang lain." 1)
Perbuatan macam ini tidak bisa dikatakan sebagai "Dien". Sebab agama mempunyai satu dasar penilaian yang sangat sempurna yakni; Islam, Iman, dan Ihsan.
Etika pada umumnya menentukan "sadar bebas" sebagai obyeknya, dan ternyata hal ini hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan.
Setia dan bertingkah baik an-sich tanpa memperhitungkan syarat lain, memang dapat digolongkan ke dalam "kebajikan". Namun belum tentu dikategorikan dalam kebajikan jika ditinjau lebih jauh pada kondisi-kondisi lain, yakni pada apa perbuatan itu bersangkut paut atau apa yang melatari perbuatan tersebut. Misalnya: Si Abdullah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Ketika terjadi tindakan tersebut terdapat:
  1. Subjek yang berbuat, yaitu "Abdullah".
  2. Objek yang diperbuat, yaitu Abdullah melakukan "sedekah".
  3. Objek yang terkena perbuatan, yaitu sedekah diberikan kepada fakir miskin.
  4. Objek yang dipergunakan, yaitu niat karena apa (bisa karena ingin dilihat orang, karena Allah dll).
Pada faktor-faktor inilah disamping "niat" batin, Islam meletakkan nilai syarat yang ikut mengambil bagian dalam menilai suatu perbuatan sebagai tindakan etis. Tegas sekali Islam mewajibkan "niat karena Allah" sebagai tanggung jawab penghambaan kepada Kholiqnya.
Tanggung jawab Islam dalam syariat (etika ketuhanan) selalu mengandung kedalaman dimensi yang tidak saja tindakan fisik sebagai objek nilai, juga di dalamnya nilai psikologis merupakan tindakan etis yang secara naluriah, mengembalikan kepada Fitrah Allah. Dalam tahapan ini manusia sampai kepada tahapan tertinggi yang dalam tindakannya sesuai dengan kehendak Allah (Fitrah Allah), diharapkan setiap perilaku (ibadah) sampai kepada syarat; islam, iman dan ihsan. Karena akan dikatakan (dinilai) sebagai agama apabila meliputi ketiga kriteria tersebut.
Dalam Hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan:
Artinya: sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi dalam bentuk seorang Arab Badui, lalu ia bertanya kepadanya tentang islam, maka Nabi menjawab, "Islam itu, ialah hendaknya engkau bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, engkau keluarkan zakat, engkau puasa bulan Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergu ke sana. Lalu Jibril bertanya apakah Iman itu? Nabi menjawab, "Yaitu hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para Utusan-Nya, bangkit dari kubur sesudah mati, dan hendaknya engkau beriman kepada takdir tentang takdir baik dan buruknya. Jibril bertanya lagi, apakah ihsan itu? Nabi menjawab, yaitu hendaknya engkau menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat Allah, sekalipun engkau tidak bisa melihat-Nya tetapi Ia bisa melihat engkau. Kemudian dalam akhir Hadist itu dikatakan Rasulullah saw bersabda (kepada para sahabatnya): Dia itu Jibril, Ia datang kepadamu untuk mengajarkan tentang agamamu.
Hal ini seluruhnya termasuk agama, dan agama (dien) itu sendiri berarti khudhu' (tunduk) dan dzull (merendah) seperti perkataan:
"Ku tundukkan dia, maka ia tunduk"
yakni: beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta merendahkan diri kepada-Nya.
Agama meliputi:
  1. Islam: berupa syariat Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji).
  2. Iman : kepercayaan, keyakinan, transendental.
  3. Ihsan: kekuatan psikologis dimana ia mengaitkan nilai perilakunya karena Allah.
Maka setiap peribadatan, apakah itu shalat, zakat, puasa akan terasa sia-sia apabila dilakukan tanpa dibarengi dengan tunduk dan patuh serta merasakan adanya sikap "ihsan" (seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya Ia melihat kalian). Hal inilah yang selalu menjadi permasalahan pokok dan mensosialisasi sebagai kebiasaan buruk yang tidak lagi menjadi masalah, padahal kita bertahun-tahun melakukan peribadatan tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan sia-sia. Ihsan adalah kontak batin dan dialogis, responsif. Ihsan adalah roh setiap peribadatan, dan menentukan diterima tidaknya peribadatan. Sikap ini pula yang menjadikan ihsan itu rukun agama, yang apabila ditinggalkan salah satu rukun agama, maka batallah sebagai agama. Permasalahan rukun agama ini telah dihukumkan dan disyaratkan kepada orang yang sampai baligh. Sebagaimana Hadist Rasulullah:
"Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh" (Abu Dawud, Ibnu Majah dan Annasay, hadist sohih).
Selanjutnya Islam mengajarkan bahwa seorang muslim yang beramal kebajikan, tetapi tujuannya bukan Lillahi ta'ala tidak mungkin diterima amalnya, sebagaimana firman Allah:
"Kami menurunkan kitab ini kepada engkau dengan sebenarnya, sebab itu sembahlah Allah seraya mengihklaskan agama bagi-Nya saja" (Q.s. Az-zumar: 2).
Nash tersebut di atas merupakan kesimpulan dari tujuan etika Islam, yaitu mengembalikan kepada posisi fitrah manusia, yang dengan kesadaran itu, maka ia akan menjadi manusia paripurna dan ia akan berakhlaq sebagaimana akhlaq Allah, dengan kecenderungan berbuat baik tanpa beban dan paksaan.
Untuk itu kecenderungan berbuat baik akan terjadi apabila kita mampu berusaha membersihkan jiwa. Dan kebersihan jiwa akan didapat apabila kita melaksanakan peribadatan sesuai dengan kriteria-kriteria pada penjelasan di atas.

Sumber : Klik di [sini]